Jika kita mendengar kata hemat, tentu yang terpintas adalah hidup yang penuh dengan kehati-hatian dalam menggunakan harta, baik uang, kekayaan fisik, waktu atau energi dari tubuh. Semua hal tersebut didayagunakan sesuai dengan porsinya supaya tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari karena persediaan terbatas. Banyak orang yang hafal dengan sebuah pepatah, “hemat pangkal kaya” dari kalangan anak-anak sampai dewasa. Namun, tak sedikit pula yang menjadikan ungkapan itu sebatas kata, karena sulit untuk dilakukan dalam keseharian. Mengapa sulit? Inilah pentingnya tulisan ini, membuka wacana dan jendela lama yang sudah usang untuk kembali dibuka supaya fakta diluar sana terlihat jelas.
Pengertian Hemat
Apa yang dimaksud dengan hemat? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa hemat merupakan tindakan yang cermat dan penuh kehati-hatian dalam membelanjakan uang dan sebagainya; atau tidak boros. Dengan kata lain, hemat adalah tingkah laku seseorang atau kelompok yang penuh dengan kecermatan dalam membelanjakan harta demi mencapai tujuan tertentu yang bersifat sosial.
Hemat dalam Pandangan Islam
Islam telah mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh berpedoman kepada Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, tidak terkecuali urusan pembelanjaan harta. Hal ini bertujuan supaya harta Allah yang dititipkan kepada manusia dapat terjaga dari segala bentuk kebatilan. Setiap muslim diatur untuk membelanjakan harta sesuai dengan kebutuhannya. Posisi hemat yang sejatinya baik, juga diatur dengan batas atas dan batas bawah pembelanjaan harta. Batas atas dan bawah artinya membelanjakan harta tidak berlebih-lebihan dan menyia-nyiakan harta dengan ketentuan sebagai berikut:
- Larangan Tabzir
Tabzir menurut istilah syar’i adalah membelanjakan harta tidak sesuai dengan hak (peruntukan) harta tersebut. (Al Jami li Ahkam Al Qur’an, 10/247). Selain itu, makna dari tabzir adalah membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak selayaknya dibelanjakan. (At Ta’rifat, 24, Al Kuliyat, 113). Maka, tabzir merupakan pembelanjaan harta untuk tujuan yang tidak selayaknya atau membelanjakan harta bukan untuk di jalan Allah (fii sabiilillah).Dalil yang melarang perbuatan tabzir ada di dalam QS. Al-Isra’: 26.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu mengambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS. Al-Isra’: 26)
Kemudian, tanda bagi orang yang bersifat tabzir dilanjutkan oleh Allah di ayat berikutnya,
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’: 27)
Ayat-ayat di atas mengindikasikan kepada manusia yang menghambur-hamburkan harta bukan untuk di jalan Allah, dikecam sebagai saudara syaitan yang merupakan mahkluk yang ingkar kepada Allah. Dan kita mengetahui bahwa tempat bagi syaitan di akhirat kelak adalah neraka yang penuh dengan siksaan.
Salah satu contoh konkrit dari sikap tabzir adalah membantu orang lain dalam kejahatan yakni bersedekah kepada orang yang sering mabuk-mabukan atau berjudi. Hal ini tentunya diawali dari niat yang baik, namun objek sedekah yang keliru akan menghasilkan perbuatan yang keliru pula.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!