Mohon tunggu...
Wido Cepaka Warih
Wido Cepaka Warih Mohon Tunggu... Lainnya - Urip iku urup

Suka bertualang, pembelajar, pernah menjadi tenaga pendidik di pelosok dan pendamping pulau-pulau terluar, pemerhati masyarakat, isu sosial, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Hidup Teratur dari Negeri Matahari Terbit

30 Januari 2017   10:59 Diperbarui: 30 Januari 2017   15:03 1550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chiba University (Dok. Pribadi)

Kisah ini saya alami sendiri bersama teman-teman seperjuangan pada waktu mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi negeri matahari terbit, Jepang sekitar akhir 2012-an silam. Kesempatan yang terwujud akibat mimpi-mimpi yang ditulis semasa dulu. Banyak pelajaran berharga yang kami dapatkan selama kurang lebih satu minggu berada di sana. Kesempatan yang datang akibat dari keajaiban dan percaya akan mimpi-mimpi dengan usaha dan doa yang terus menerus tiada henti.

Sahabat yang percaya akan keajaiban mimpi, saya akan tuliskan di sini mimpi yang pernah saya tulis di atas kertas lusuh pada waktu sekolah menengah atas dahulu, seperti ini bunyi tulisannya: "Universitas di Jepang, tunggu aku, aku akan datang, sebagai kado bagi Indonesia". Agak lucu memang terdengarnya, tetapi memang seperti itulah yang saya tulis. Begitu indahnya Allah mengatur potongan-potongan mozaik dalam hidupku sedemikian rupa, setelah bertahun-tahun DIA memeluk mimpi-mimpiku dan menyimak harapan sepi dalam hatiku dan kini DIA mewujudkannya (Andrea Hirata dalam Sang Pemimpi).

Waktu itu kami datang bulan Oktober 2012, kalau saya tidak lupa bertepatan dengan peralihan musim dingin dan semi, jadi perlu penyesuaian suhu udara yang cukup dingin sepanjang hari di sana. Pesawat yang kami tumpangi mendarat pada waktu dini hari di Bandara Haneda disambut dengan suhu udara yang dingin.

Karena sudah tidak tersedia lagi kereta ke Chiba, maka kami memutuskan untuk menginap di area bandara. Keesokan harinya perjalanan kami lanjutkan dan sampailah kami di Stasiun Nishi Chiba. Di sini kebingungan mulai terjadi untuk menentukan arah dan akses ke arah Chiba International Student House. Kondisi kami yang mengantuk, lapar dan laptop yang mati semakin membuat kami bingung. Akhirnya kami kembali lagi ke dalam area stasiun dan bertemu dengan dua orang pemuda Jepang yang menawarkan bantuan kepada kami melihat kami yang kebingungan.

Stasiun Nishi-Chiba (Dok. Pribadi)
Stasiun Nishi-Chiba (Dok. Pribadi)
Pada awalnya kami agak ragu tetapi kami melihat ketulusan mereka yang benar-benar ingin menolong kami. Mereka menanyakan kepada kami alamat tujuan kami sambil membelikan kami kopi hangat di pagi hari dari tempat penjual makanan terdekat. Akhirnya setelah berdiskusi dengan mereka, mereka memberi tahu cara kami untuk mencapai tempat tujuan kami.

Kami diajari bahkan dibelikan tiket kereta api sampai diantarkan ke peron stasiun. Berkali-kali kami mengucapkan terima kasih dengan bantuan dan perkenalan mereka yang sangat hangat walaupun kita tidak saling mengenal. Setelah sampai di stasiun kereta tujuan, kami meminta bantuan dari polisi di dekat stasiun sesuai dengan arahan dari dua pemuda setempat tadi. Begitu baik, bijak dan telaten membimbing kami menjelaskan arah ke tempat tujuan kami, sehingga bisa dilalui dengan jalan kaki.

Jalan raya di Chiba (Dok. Pribadi)
Jalan raya di Chiba (Dok. Pribadi)
Selama perjalanan dari pos polisi tadi, kami melihat keteraturan orang Jepang pada waktu di jalan raya. Semua mematuhi rambu-rambu yang ada, dan pengguna jalan lain sangat menghormati pejalan kaki yang lewat di jalan. Bahkan anak sekolah yang masih kecilpun berani jalan sendiri dan naik kereta sendiri ke sekolah mereka tanpa diantar oleh orang tua mereka.

Pada waktu kami membeli makanan dan minuman di toko kami juga banyak belajar hal berharga dari sana. Kami saat masuk ke toko tersebut mengalami kesusahan untuk mencari makanan yang halal, sehingga bertanya kepada penjaga toko, dengan baik hati penjaga toko memberitahukan kami mana makanan yang halal bagi kami.

Bahkan ketika mereka kebetulan tidak tahu jenis makanannya, mereka meminta kepada kami menunggu untuk menanyakan kepada penjaga toko lainnya di belakang. Di suatu waktu bahkan mereka menuliskan kanji kepada kami kode untuk makanan yang halal dan jenis yang tidak diperbolehkan untuk kami. Semua mereka lakukan dengan hati karena terkendala dengan komunikasi bahasa dengan kami di mana kami belum bisa lancar berkomunikasi dalam bahasa Jepang. Bantuan mereka yang tulus akan selalu kami ingat sampai kapanpun.

Mengenai pandangan orang Jepang terhadap waktu. Mereka sangat menghargai waktu yang ada. Dari penyusunan jadwal acara sampai hal sekecil apapun. Acara di sana dimulai tepat sesuai dengan jadwal, bahkan di beberapa sesi beberapa menit sebelum jadwal sudah dimulai. Kebanyakan dari mereka suka segala sesuatunya berjalan sesuai jadwal yang telah ditentukan yang menjadi budaya menghargai waktu dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Apalagi mengenai jadwal kereta yang selalu datang tepat waktu, sehingga menimbulkan rasa kepercayaan dari masyarakat akan layanan umum di sana, dan menjadi salah satu pilihan favorit untuk mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun