Ia meninggal akibat serangan jantung. Pemicunya jelas: makan durian disertai minum ciu hingga mabuk. Kombinasi yang, konon, bisa mengakibatkan kematian. Akong A Meng bukan kasus yang pertama. Walaupun sudah selalu diingatkan namun setiap tahun, setiap musim durian, kejadian seperti ini terulang lagi.
***
Di kursi beranda rumah kududukkan tubuhku yang lunglai. Emak langsung menginterogasi kenapa aku lambat pulang. Padahal kakakku sudah lama sampai di rumah dan melaporkan tidak ada pelajaran. Aku menceritakan peristiwa akong A Meng meninggal. Sontak Emak terdiam. Mengusap matanya yang basah. Ditinggalkannya aku lalu bersiap-siap untuk melihat jenazah akong. Ia sudah menganggap akong A Meng sebagai orang tuanya.
***
Konon, sejak usiaku balita, aku dijadikan cucu angkat oleh akong A Meng. Di kampung kami ia hanya sebatang kara. Seorang diri ia mengusahakan kebun sayurannya. Anak dan cucu-cucunya jauh di kota. Hanya sekali dalam setahun mereka bertemu dengannya. Hanya pada waktu hari raya Imlek. Rumah kami yang berdekatan memungkinkan sejak usia balita aku sudah sering bermain-main ke rumahnya dan jadi penyenang-nyenang hatinya. Sejak usia balita pula Emak dan Bapak mengizinkannya mengakui diriku sebagai cucunya.
Pada masa-masa itu, setiap menjelang hari raya Imlek tak pernah luput aku dibelikannya pakaian dan selop baru. Serta diantarkannya nampan penuh berisi beraneka macam manisan buah-buahan termasuk manisan buah kana kesukaanku. Dan satu peti jeruk Imlek bertangkai dan berdaun. Jadilah dua kali aku berhari raya dalam setahun.
Di hari-hari biasa, setiap pagi ia selalu memanggilku, yang baru bangun tidur, untuk kencing di tempayan tempat ia mengumpulkan air kencing. Nantinya, sesudah diperam, untuk disiramkan sebagai pupuk tanaman sayurannya. Setiap kali tutup tempayan dibuka, pesingnya jangan ditanya.
Semenjak aku masuk sekolah dasar tak ada lagi kebiasaan kencing di tempayan. Aku malu. Juga tidak ada lagi baju baru dan manisan buah-buahan di hari raya Imlek. Bukan lantaran akong yang berubah, tapi Emak yang melarangnya. Emak kasihan dan tidak ingin memberatkannya. Dia sudah tua, tenaganya sudah berkurang, tambahan lagi hasil dari kebun sayurannya pun tak seberapa.
Yang tidak pernah berubah adalah kebiasaannya memberikan sayur-sayuran untuk kami. Dan kebiasaan Emak mengirimi akong masakannya ketika Emak masak enak. Meskipun sembunyi-sembunyi ia masih suka memberiku uang untuk jajan. Selalu disertai wanti-wanti: Jangan bilang-bilang Emak, ya. Kalau ketahuan, ia pasti diomeli Emak. Ia hanya menimpali omelan itu dengan terkekeh-kekeh.
***
Bagaikan bermimpi hari ini aku menyaksikan kepergian akong. Ia pergi dengan cara yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Barangkali ia ingin aku menyaksikan kepergiannya. Yang membuatku sedih, ia pergi di tempat yang tidak menyenangkan. Ketika tengah menonton tukang koyok. Bersamaku.