Entahlah, mungkin aku harus bersabar. Kata orang, kesabaran akan berbuah kebaikan. Biar pencipta alam semesta ini saja yang menentukan apa yang terbaik untukku. Juga Ian.
****
Tiga bulan telah berlalu.
Suatu pagi, aku melihat sebuah amplop merah jambu. Seseorang telah menyelipkannya dari bawah pintu.
"Ada Rumah Makan Makasar dekat kantorku. Aku belum pernah ke sana. Kata orang soto konronya enak. Kamu mau menemani? Jam tujuh malam ini. Kalau mau. Ian."
Sontak, hatiku berdegup kencang! Bagaimana dengan pertunangannya? Apakah sudah berakhir? Kenapa? Atau ia melakukan ini hanya karena kasihan denganku? Gak! Aku gak butuh kasihannya!
Beribu pertanyaan dan spekulasi membombardir benakku. Akhirnya aku memutuskan untuk memenuhi undangannya. Memberinya kesempatan dengan harapan ia juga memberi kesempatan kepada dirinya sendiri.
Selepas kerja aku tidak langsung menuju rumah makan tetapi pulang ke apartemen terlebih dahulu untuk membersihkan diri karena aku ingin terlihat bersih, cantik dan wangi saat menemuinya nanti.
Pukul tujuh aku meninggalkan apartemen. Jarak dari Apartemen ke rumah makan sekitar 30 menit. Sengaja aku pastikan untuk datang terlambat. Biarin! Lebih baik ia menungguku, daripada aku yang harus menunggunya.
Perjalanan menuju ke rumah makan yang kuharapkan berjalan lancar, ternyata macet total. Tak seperti biasanya parah seperti ini. Dalam hati aku menebak pasti ada kecelakaan besar. Hatiku mulai terasa tidak enak, karena yakin aku akan sangat terlambat menemui Ian.
Aku menyesali keputusanku. Kalau saja aku berangkat lebih awal pasti tidak akan terjebak macet seperti ini. Seharusnya, akulah yang menanti kedatangan Ian di sana.