Seperti tadi pagi, kunyalakan sebatang rokok, lalu keluar menuju balkon dengan rokok di tangan. Dan seperti tadi pagi pula, aku harus kecewa. Ian sama sekali tidak memperhatikan keberadaanku.
Keesokan harinya kuulangi hal yang sama. Jam enam pagi dan jam delapan malam. Lagi-lagi, aku harus kecewa!
Ini hari ketiga aku di balkon, masih berpura-pura sebagai perokok. Masih berharap ia menyapa. Kembali harapanku sia-sia. Ian tetap bergeming.
Pagi itu aku memutuskan untuk tetap terus berpura-pura menjadi penikmat kepulan asap dan demi cinta aku akan terus berharap.
Malam kelima, seperti orang gila aku berdiri di balkon dengan sebatang rokok yang kubiarkan berasap di tanganku. Meski tak berharap banyak, mataku tetap tertuju padanya.
Tak kuduga, tetiba ia menengadahkan pandangannya ke arahku. Entah enerji supranatural dari mana merasuki tubuhku, sontak aku punya nyali melambaikan tanganku ke arahnya. Ian tak membalas lambaianku tapi malah menunduk lalu masuk ke dalam apartemennya.
Malam itu aku takbisa tidur. Ian telah memandang ke arahku dan itu berarti ia mulai tahu akan keberadaanku. Pikiranku melayang taktentu arah.
Keesokan paginya, saat berpura-pura merokok di balkon, tanpa kuduga Ian berjalan mendekati balkonku.
"Penghuni baru, ya?"
" Iya, tapi gak juga sih aku sudah tiga mingguan tinggal di Apartemen ini!"
Percakapan itu bagaikan pemecah gunung es. Setelahnya, percakapan di balkon terus berlanjut. Jam enam pagi dan jam delapan malam. Setiap hari.