Dua.
Kuberanikan diri menjauhi pandangan mataku dari lantai menuju ke atas. Matanya dan mataku saling bertemu. Cinta dan benci. Gadis itu mulai berbicara. Kalimat yang sama seperti yang sudah-sudah. "Ngapain lo di sini, weirdo?" Aku tersenyum kepadanya untuk pertama kali. Tak berkata-kata.
Satu.
Kubuka genggaman tanganku di dalam tas. Kuurungkan niatku semula memberikan kado kecil itu padanya. Dengan cepat kucari barang lainnya di sana, kukeluarkan dan langsung kuarahkan bagian tajam ke arahnya. "Nggak ngapa-ngapain!" Jawabku. Tetiba kulihat sorot ketakutan di matanya. Sama seperti ketakutan yang aku jalani selama delapan belas tahun terakhir ini. Tapi saat ini aku merasa yang paling 'ter'
Kuhunus belati itu di lehernya. Seolah dalam slow motion kejadian ini terjadi terasa lama, meski sebenarnya hanya dalam hitungan detik.
Warna merah kental mengalir dari lehernya. Ejekan dan tawa itu tak lagi kudengar. Tak ada seorang pun yang bergerak. Benda tajam itu lalu kuarahkan kepadaku.
Untuk terakhir kalinya kupandangi orang-orang sekelilingku. Berharap mereka melihat inilah hasil dari "bully" itu, disaat yang bersamaan aku ingin membuktikan bahwa aku mencintai gadis ini dan rela mati bersamanya.
Kugenggam erat gagang belati itu dan kuhunuskan ujungnya kuat-kuat ke dadaku. Tapi sepertinya nyaliku tidak cukup kuat untuk itu.
"Kreeeek!"
Aku terbangun! Dernyitan pintu telah membuyarkan tidurku. Sayup-sayup kudengar suara yang tak awam lagi di telingaku.
"Sekarang saatnya minum obat, weirdo!"