Mohon tunggu...
Widi Reka Altiawati
Widi Reka Altiawati Mohon Tunggu... -

"Reading is hot. Writing is cool."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lagu Odong-odong, Apakah Ramah Anak?

29 September 2016   04:32 Diperbarui: 30 September 2016   00:48 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: ryohadipranata.deviantart.com

...Cinta satu malam oh indahnya. Cinta satu malam buatku melayang. Walau satu malam akan selalu ku kenang dalam hidupku.”

Penggalan lirik lagu dangdut koplo di atas tentunya sudah tidak asing lagi  di pendengaran para pembaca. Tapi bagaimana jika lagu tersebut terdengar dari arah seberang rumah kita, yang ternyata berasal dari pemutar lagu odong-odong di sana dengan wajah dan tawa riang anak-anak kecil di atas mobil dan kuda pacunya? Mengkhawatirkan sekali. Kebahagiaan yang seharusnya menjadi masa menyenangkan untuk menemani masa pertumbuhan mereka justru malah menggiring mereka ke dalam lubang. Sebagian orangtua mungkin tidak terlalu peduli dengan apa yang tengah di dengarkan anaknya, bahkan mungkin tidak begitu percaya akan adanya dampak dari musik dan lirik sebuah lagu  dalam alam bawah sadar mereka. Beranggapan tidak cukup berbekas. Tapi sesungguhnya inilah bahaya laten yang semestinya perlu dihadapi dan diperangi oleh para orangtua.

Belakangan ini musik berkembang dengan sangat pesat di Indonesia, namun kualitas dari musik dan lagu-lagu yang dihasilkan menurun. Lirik lagu yang centil dan cengeng, bertemakan cinta, perselingkuhan, seolah menjadi bumbu utama dalam memproduksi sebuah lagu. Bahkan tidak sedikit yang menyisipkan lirik yang kurang santun, mesum, dan erotis. Tidak peduli dengan dampak yang diciptakannya, yang penting untung. Sangat disayangkan.

Tingginya minat lagu drama percintaan dan kesedihan di masyarakat, serta mudahnya proses penerbitan sebuah lagu membuat para produser lagu berlomba-lomba memproduksi lagu-lagu dengan tema serupa. Lagu-lagu bertemakan cinta berhasil menggeser lagu anak-anak yang jenaka. Lagu-lagu tersebut begitu meledak, hingga terdengar kapanpun dan dimanapun. Di televisi, di jalan, di acara hajatan tetangga, di pasar, di kendaraan umum, atau bahkan orangtuanya sendiri yang memutarnya di rumah. Alhasil, mau tidak mau anak-anak turut mendengarkan lagu-lagu yang belum semestinya disajikan di usianya.

Bayangkan bagaimana perkembangan emosionalnya bila terus mengkonsumsi lagu-lagu yang belum pantas didengarnya? Di usia bermain dan bersenang-senang, mereka justru mulai memikirkan cinta dan kesedihan. Tidak heran jika saat ini anak-anak tumbuh dewasa lebih cepat. Dewasa bukan dalam artian mental tetapi pola pikir yang sebenarnya keliru. Contoh kasusnya, banyak anak Sekolah Dasar yang sudah mulai mengerti berpacaran. Bahkan pada satu kasus mereka berani berpacaran di luar batas karena rasa ingin tahu yang tinggi. Tidak mengerti kalau hal tersebut melanggar tata norma masyarakat dan merusak dirinya. Dampaknya mereka menjadi senang mendramatisir keadaan, merasa tidak berharga, menjadi pemurung, prestasi menurun, dan berbagai dampak buruk lainnya.

Dalam alam bawah sadar mereka, mereka akan menemukan dirinya di tengah masyarakat hanya sebagai pemuas nafsu. Mereka menjadi meyakini bahwa pacaran adalah suatu hal yang diperbolehkan, perselingkuhan itu wajar, pengkhianatan itu tidak masalah, juga meyakini bahwa tindakan dan kata-kata erotis dan cinta adalah sesuatu yang lumrah. Lebih parahnya lagi tanpa mereka sadari mereka akan menghayati, terasumsi, bahkan tersugesti sebuah lagu mengenai kisah hidupnya. Miris sekali. Psikologis mereka cedera hanya karena sebuah lagu.

Musik merupakan bahasa universal yang dapat dimengerti oleh semua orang dan semua kalangan usia. Tanpa lirik pun orang-orang akan mengerti nuansa sebuah musik melalui nada yang teralun. Musik sedihkah atau gembirakah. Musik pun dapat mengubah perilaku manusia. Misalnya, musik dengan tempo yang cepat akan membuat pendengarnya lebih bersemangat, sementara musik dengan tempo yang lambat akan membuat pendengarnya merasa lebih tenang dan santai. Musik telah menjadi kebutuhan manusia dalam menemani aktivitas sehari-hari. Untuk pengantar tidur, menemani perjalanan, sebagai pewarna suasana, dan sebagainya. Musik juga menjadi stimulus yang baik untuk bayi yang masih berada dalam kandungan. Menurut para ahli, musik klasik bisa dijadikan alat terapi juga dapat meningkatkan kecerdasan seseorang. Begitu luar biasanya dampak sebuah musik terhadap mentalitas dan psikologis manusia.

Kembali lagi pada musik anak-anak. Kalau kita perhatikan, saat ini jarang sekali, bahkan nyaris tidak ada stasiun televisi yang menayangkan program musik anak-anak seperti dulu. Para penyanyi cilik terdahulu seperti Trio Kwek-Kwek, Joshua, Tina Toon, Tasya, Sherina, yang mempopulerkan lagu anak-anak pun kini sudah bertumbuh dewasa dan belum ada generasi yang menggantikannya. Sekalipun ada mungkin tidak cukup populer, lalu hilang begitu saja. Lagu anak-anak menjadi tidak berkembang, tidak terperbarui, hanya itu-itu saja, yang masih lekat di pendengaran dan ingatan anak-anak pada masa itu yang saat ini sudah dewasa.

Menurut beberapa kabar, minimnya musik dan lagu anak-anak disebabkan karena sedikitnya peminat dan daya tarik tema lagu tersebut. Tidak memiliki pangsa pasar. Sehingga produser musik tidak mendapatkan profit yang diharapkan, bahkan mereka mengalami kerugian karena lagu yang di produksi tidak cukup laku terjual. Lagu yang dihasilkan hanya laku sebagai keperluan para guru-guru TK untuk kegiatan bermain dan belajar anak-anak didiknya di sekolah. Ya, hanya di Taman Kanak-kanaklah anak-anak pada masa ini mulai mengenal lagu-lagu yang pantas seusianya, jika orangtuanya belum memperkenalkannya.

Hal ini juga menjadi pengakuan oleh para pengayuh odong-odong. Minimnya lagu anak-anak membuat mereka terpaksa memutar lagu-lagu dewasa bertemakan cinta karena takut anak-anak akan merasa bosan dan tidak  lagi tertarik untuk menaiki odong-odongnya jika terus saja memutar lagu anak-anak yang sama setiap hari. Maaf, tapi saya khawatir ungkapan itu hanya dijadikan dalih untuk melindungi diri bahwa lagu-lagu bertemakan cinta tersebut sebenarnya juga dinikmati oleh abang odong-odong sebagai penghilang jenuh dan lelah ketika bekerja dan berkeliling mencari pelanggan. Hal ini terbesit di pikiran saya karena saya melihat banyaknya odong-odong yang sedang melintas di jalan, dengan memutar lagu dewasa tersebut begitu kerasnya. Entah untuk menarik perhatian anak-anak, entah untuk mengusir rasa bosan dan lelahnya di jalan. Jika benar begitu hal ini sangat menyedihkan untuk saya. Semoga dugaan saya ini keliru. Jujur saja, saya yang sudah berusia dua puluh tahun pun belum bosan dan masih menyenangi lagu anak-anak karena musiknya ceria dan lirik sederhana yang edukatif. Menurut saya, tidak apa jika hanya lagu itu-itu saja yang diputar saat anak-anak kecil menikmati kayuhan tumpangan odong-odong andalannya. Saya akan sangat menghargai itu. Karena secara tidak langsung abang odong-odong turut andil dalam memperkenalkan dan melestarikan lagu anak-anak. Kita harus mengerti dan sepakat bahwa tidak semua lagu-lagu orang dewasa layak dikonsumsi anak-anak.

Lirik yang negatif akan merefleksikan kehidupan remaja yang tidak patut secara etika dan beragama kepada anak-anak. Pendidikan etika dan agama yang baik akan sangat melndungi dan menolong anak-anak kita di masa yang akan datang. Untuk itu peran aktif orangtua sangat penting dalam membimbing dan menyaring apa yang di dengar oleh anak-anaknya. Jika anak terus saja mendengarkan lagu-lagu yang belum pantas dikonsumsinya, nantinya akan berdampak buruk terhadap psikologis mereka karena anak-anak memahami dan menyerap dengan sangat baik hal-hal yang disampaikan melalui sebuah lagu. Fenomena ini memang sangat lekat dengan kepedulian. Peduli dengan apa yang kita ciptakan, peduli dengan apa yang kita kerjakan, peduli dengan dampak yang kita lakukan terhadap lingkungan, juga generasi yang akan datang. Tidak perlu malu melestarikan dan menyanyikan lagu anak-anak. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun