Sementara ketika ada pelaku yang berhasil ditangkap dengan mudah, seperti peristiwa pertengahan tahun ini, ternyata pelaku diduga mengalami gangguan jiwa.Â
Upaya dari pihak operator KRL sendiri adalah dengan mendatangi lingkungan yang diduga menjadi tempat pelaku melakukan aksinya. Mereka akan menelisik dan menyosialisasikan tentang bahaya aksi tersebut kepada warga sekitar.Â
Hasilnya apakah pelaku sebenarnya bisa diketahui dan dibuat jera? Sejauh ini kabar tertangkapnya pelaku pelemparan tak pernah muncul di pemberitaan maupun rilis resmi KRL. Artinya, memang sulit menelusuri pelaku aksi lempar batu.Â
Padahal, efek dari kejadian seperti itu bisa berakibat fatal. Pecahan kaca serta meluncurnya batu ke arah kereta bisa membuat penumpang menjadi korban. Belum lagi kerugian materi dan operasional karena kaca yang pecah harus diperbaiki.Â
Bagi penumpang sendiri, tak banyak yang bisa dilakukan sebagai antisipasi terhadap kejadian seperti itu. Seolah hanya bisa berharap tak ada orang yang isengnya keterlaluan hingga nekat melempar batu ke arah kereta.Â
Namun, bagi sebagian penumpang, menutup kaca dengan tirai setidaknya dianggap bisa mengurangi efek pecahan kaca ketika ada yang melempar batu.Â
Tapi apa iya KRL yang sudah engap dengan isinya yang padat harus dipaksa makin engap dengan menurunkan tirai jendela demi melindungi diri dari aksi random semacam itu?Â
Maka memang seharusnya ketegasan dan keseriusan menelusuri pelaku dengan melibatkan aparat hukum seperti polisi serta RT/RW hingga perangkat desa di sepanjang rel jalur KRL perlu ditingkatkan. Edukasi yang masif juga perlu turut menyertai.Â
Jangan sampai berhenti dengan pemakluman "ah paling orang gila" atau "dasar bocah gabut", karena di dalam KRL ada manusia-manusia yang tidak layak menjadi korban aksi bermotif konyol  dan tidak jelas seperti itu.