Dua pekan belakangan ini marak kegiatan sekolah bertajuk wisuda atau pelepasan siswa yang baru saja lulus. Dari mulai jenjang PAUD, TK, hingga SMA, berlomba-lomba mengadakan acara yang sebenarnya identik dengan seremoni kelulusan dari bangku kuliah.
Entah sejak kapan tradisi wisuda pendidikan dasar dan menengah ini dimulai. Sepengetahuan saya, sejak TK hingga lulus SMA tidak pernah tuh yang namanya diwisuda. Paling banter tajuknya cukup "perpisahan". Acaranya cuma pidato, salam-salaman dan foto bersama, serta makan snack.
Kini, di rumah saya sudah ada foto anak saya dengan memakai toga bak sarjana yang baru lulus, padahal lokasi fotonya bertempat di sebuah ruangan kelas di TK-nya.
Sekolah, baik swasta maupun negeri, menjadikan acara wisuda anak didiknya sebagai simbol kebanggaan.Â
Maka, tak heran jika ada sekolah yang memang membuat konsep wisudanya seunik mungkin, dan seheboh mungkin.
Siswa laki-laki wajib mengenakan pakaian jas, sedangkan yang perempuan memakai kebaya.Â
Bagi sekolah bonafid tentu tak masalah. Menjadi problem ketika hal ini diterapkan di sekolah yang latar belakang ekonomi para orangtuanya tidak merata, pasti ada pro dan kontra jika ada biaya lebih yang dibutuhkan untuk seremoni semacam ini.
Bagi siswa-siswi sendiri, mereka tahunya acara wisuda adalah tradisi yang memang hadir tiap tahunnya. Menjadi acara penting bagi anak-anak yang telah lulus dari satu tahapan jenjang pendidikan.Â
Tentu menjadi kebanggaan bagi mereka, dan mungkin acara semacam ini adalah kesempatan kali terakhir untuk berada di sekolah dan berkumpul bersama dengan teman-teman dan guru-guru mereka.
Namun, di sisi lain menjadi dilema bagi sebagian orangtua yang memiliki anak untuk diwisuda di jenjang pendidikan dasar dan menengah ini. Pasalnya, kehadiran kedua orangtua seolah wajib di acara wisuda tersebut.
Bayangkan jika memiliki anak 3 atau lebih dengan jarak usia 1 atau 2 tahun. Bisa jadi ada orangtua yang tiap tahun harus hadir wisuda anaknya, atau bahkan bingung membagi waktu karena misalnya dalam hari bersamaan si sulung wisuda SMP dan si bungsu wisuda SD.
Dilema dan kebimbangan juga bakal melanda andai kedua orangtua atau salah satunya bekerja dan sulit untuk mendapatkan izin atau cuti.Â
Alih-alih diizinkan cuti, justru nyinyiran yang didapat dari rekan kerja atau malah atasan di kantor. "Yaelah, anak piyik aja pakai acara wisuda segala."
Problem seperti ini muncul karena rata-rata pilihan hari pelaksanaan wisuda yang ditetapkan oleh pihak sekolah adalah di hari kerja.Â
Inilah bedanya dengan wisuda anak kuliahan yang umumnya diselenggarakan di akhir pekan, khususnya hari Sabtu.
Okelah, kita kesampingkan perdebatan yang menganggap penting atau tidak penting sebuah acara wisuda bagi anak sekolah. Semua argumen pasti ada alasannya masing-masing. Termasuk soal kebanggaan bagi keluarga yang memiliki anak lulus sekolah dengan nilai yang tinggi.
Namun, mungkinkah sekolah-sekolah mempertimbangkan penyelenggaraan acara wisuda di luar hari kerja? Ini supaya memberikan kesempatan bagi orangtua bekerja agar bisa hadir mendampingi dan menyaksikan anaknya diwisuda.
Bagi seorang anak, jika salah satu orangtuanya tidak bisa hadir, bisa jadi merasakan kekecewaan dan kesedihan yang membekas. Walaupun sudah diberikan pengertian, misalnya orangtuanya tidak bisa cuti dari kantornya karena urgensi pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Tetapi di dalam hati kecilnya siapa tahu, ia bakal iri dengan kebahagiaan teman-temannya yang bisa berfoto bersama usai wisuda dengan kedua orangtuanya.
Persoalan seperti ini tidak bisa dianggap sepele oleh pihak sekolah, terutama jika menyelenggarakan acara yang melibatkan kehadiran orang tua siswa. Efek dari sisi kesehatan mental anak-anak, yang mungkin tak pernah terpikirkan.