Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Tanpa WhatsApp? Uang Bisa Melayang, Keluarga Bisa Ngomel

14 Januari 2021   15:52 Diperbarui: 14 Januari 2021   15:55 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: unsplash.com/Rachit Tank

Aplikasi perpesanan WhatsApp sedang digoyang. Gara-gara meluncurkan kebijakan privasi yang dianggap tidak melindungi data pengguna, banyak pengguna WhatsApp meradang dan mulai mencari alternatif lain.

Saya sendiri memilih bersikap santai alias santuy. Begitu muncul notifikasi kebijakan privasi yang baru, tak butuh waktu lama buat saya untuk klik setuju. Ya, apa boleh buat, untuk saat ini hidup saya masih terikat dengan WhatsApp.

Terikat dalam arti sejauh ini saya masih menuai manfaat dengan adanya WhatsApp. Tak bisa tiba-tiba saya emosional dan melakukan uninstall aplikasi tersebut. Lalu bagaimana dengan koneksi saya yang sudah terlanjur terbangun dengan WhatsApp?

Bisa-bisa tak ada lagi pesan WhatsApp yang berisi ajakan kerja sama untuk menulis artikel dengan honor lumayan. Nah, yang begini kan bikin rugi beneran. WhatsApp terlanjur jadi media mendatangkan rejeki.

Jadi kalau kolega saya yang biasa menawarkan proyek khusus masih pakai WhatsApp dan saya sudah hengkang dari WhatsApp, tentu berakibat pada potensi keuntungan yang melayang.

Sepanjang tidak ada gerakan massal dan global untuk migrasi ke aplikasi tertentu, seperti Telegram misalnya, WhatsApp sepertinya masih susah untuk ditinggalkan orang.

Dulu orang-orang berbondong-bondong beralih dari BBM ke WhatsApp seiring dengan mencuatnya smartphone berbasis Android meninggalkan Blackberry yang mulai ketinggalan jaman. BBM gagal karena gagap dan telat menggarap BBM for Android. Sementara ada pemahaman awam bahwa kalau sudah pakai smartphone Android maka aplikasi pesannya pakai WhatsApp.

Kini, momen kebijakan privasi WhatsApp rasanya belum mampu membuat semua orang berpaling. Sudah terlanjur enak sih. Contoh termudah adalah saat orang tua kita masih kekeuh memakai WhatsApp, apa iya kita sebagai anak yang berbakti justru menyuruh orang tua kita untuk ganti aplikasi?

Bagaimana dengan nasib grup mereka seperti komunitas senam sehat, grup burung berkicau, grup tanaman hias, grup alumni, grup emak arisan, grup bapak-bapak RT, grup keluarga besar dan lain-lain?

Oalah, lha wong gara-gara saya nggak pernah komen atau muncul di grup keluarga besar saja sudah kena tegur kok. Terus apa kabar kalau misalnya saya hapus aplikasi WhatsApp itu? Bisa-bisa diomeli panjang lebar.

Urusan privasi mah belakangan aja. Soal privasi diumbar kan sudah biasa. Buktinya masih banyak orang update status urusan pribadi, pamer perasaan, pamer tiket pesawat, pamer isi rumah, pamer piknik dan lain-lain.  Bagi sebagian orang, privasi kalau dirasa keren justru jadi bahan konten atau dipamerkan di status.

Bahkan para pekerja informal pun sudah terikat dengan WhatsApp. Tukang sayur memanfaatkannya ketika para pelanggan perlu kebutuhan dapur yang spesifik. Demikian pula tukang gas, tukang galon hingga tukang bangunan. Kalau nggak pakai WhatsApp bisa-bisa pelanggan pun hilang.

Di ranah dunia kerja kantoran, WhatsApp juga masih jadi andalan utama sebagai penunjang pekerjaan. Coba sebutkan kantor mana yang tidak punya grup WhatsApp? Sepertinya nyaris tidak ada sih.

Oke deh, misal dengan membawa harga diri karena dikecewakan WhatsApp saya pun akhirnya left dari grup kantor saya sekaligus menghapus aplikasi songong itu. Selanjutnya? Bisa jadi saya disuruh left kantor itu selamanya. Dianggap mengada-ada dan sok kepinteran.

Kok bisa? Ya bisa saja, mengingat melalui WhatsApp kerapkali tugas-tugas pekerjaan dari bos meluncur. Juga info terkait pekerjaan lainnya, berbagi data antar sesama rekan kerja, serta diskusi tentang suatu isu yang penting.

Wong kelamaan jawab pesan WhatsApp atau cuma di-read doang tapi nggak dibalas aja bisa runyam urusannya. Ini kok malah nekat mau ganti aplikasi.

WhatsApp terlanjur menjadi bagian tak terpisahkan dalam kaitan pekerjaan, keluarga dan pertemanan. Wajar kalau WhatsApp butuh uang, soalnya kita para pengguna juga memanfaatkan WhatsApp untuk cari uang dan cari hiburan.

Jadi dimohon kepada Telegram dan kawan-kawan agar bersabar untuk bisa menggeser posisi WhatsApp. Perlu momentum besar agar bisa membuat WhatsApp jatuh, misalnya karena mereka bangkrut atau diblokir di banyak negara.

Semua pun ada masanya, jikalau aplikasi lain berhasil menjadi nomor satu pun, bisa jadi kelak bakal muncul pula kontroversi serupa kebijakan privasi ini. Sekarang sok-sokan menawarkan privasi data dan tanpa iklan, besok kan belum tentu. Gitu aja sih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun