Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Sensasi "Pedis" Sambal Rujak Natsepa Khas Ambon

28 April 2019   20:16 Diperbarui: 29 April 2019   13:32 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mama Ci, penjual rujak Natsepa khas Ambon (foto by widikurniawan)

Beberapa hari menjelang berangkat ke Ambon, Maluku, sejumlah kawan merekomendasikan saya untuk ngerujak di sana.

"Jangan lupa ke Pantai Natsepa, ngerujak di sana, sambalnya mantap," ujar seorang kawan.

Saya hanya menganggapnya angin lalu. Ngerujak bukanlah kegiatan favorit saya dan hingga saat itu saya belum ngeh kalau rujak di Pantai Natsepa memang menjadi kuliner khas di Ambon.

Hingga kemudian ketika sudah berada di Ambon, beberapa hari lalu, seorang kawan yang asli Ambon dengan penuh semangat mengajak saya untuk menyambangi Pantai Natsepa.

"Yuk jalan-jalan dulu ke Pantai Natsepa, di sana kita makan rujak. Beta ndak bohong, belum ke Ambon kalau belum makan rujak Natsepa," ujarnya.

Perjalanan naik kendaraan dari pusat kota ke Pantai Natsepa menempuh waktu sekitar 25 menit saja. Ketika sampai di lokasi, berderet kios kayu di pinggir pantai sepertinya kompak menjual menu yang sama, yakni rujak Natsepa.

Deretan kios rujak di Pantai Natsepa (foto by widikurniawan)
Deretan kios rujak di Pantai Natsepa (foto by widikurniawan)
Selain deretan kios di luar kompleks wisata Pantai Natsepa, yang notabene berada di pinggir jalan raya, menu rujak juga bisa didapatkan di lokasi wisata. Kami pun memilih masuk ke kompleks pantai dan mesti membayar ongkos tiket masuk seharga 5 ribu rupiah per orang.

Dari sekian banyak kios yang buka, kios milik Mama Ci menjadi pilihan kami. Perempuan tua tersebut dengan sigap menawarkan pilihan rasa pedas atau tidak.

"Pediskah?" tanya Mama Ci.

"Iya, pedis Ma," jawab saya.

Saat menjawabnya, saya bahkan lupa jika sejam sebelumnya baru saja makan ikan bakar dengan sambal yang pedis dan bikin mulut 'hoh-hah-hoh-hah'. Tapi ah, demi rasa penasaran sudah berada di Natsepa, maka se-pedis apapun rujak bikinan Mama Ci nanti akan saya terima.

Ulekan sambal yang 'pedis' punya (foto by widikurniawan)
Ulekan sambal yang 'pedis' punya (foto by widikurniawan)
Saya mengamati ketika Mama Ci mulai ngulek kacang tanah di sebuah cobek berukuran besar. Ia mencampurnya dengan gula merah yang konon adalah gula Makassar, garam dan cabe. Setelah agak rata ulekannya, ia kemudian mencampurnya dengan irisan buah belimbing dan pala, lalu diulek lagi. Sepertinya saya tidak melihat beliau memberi campuran air, tapi ulekan pada buah belimbing yang dilindas ternyata yang memberikan efek cair sehingga perlahan sambalnya mulai mengental.

Mama Ci (70 tahun) masih semangat ngulek sambal rujak (foto by widikurniawan)
Mama Ci (70 tahun) masih semangat ngulek sambal rujak (foto by widikurniawan)
Meski di usia yang diakui telah menginjak 70 tahun, tenaga Mama Ci masih kuat untuk ngulek. Sesekali bahkan ia ngulek menggunakan dua tangan, tampak penuh dedikasi.

Ia kemudian mengiris-iris buah nanas, belimbing, mangga, mentimun, kedondong hingga pepaya dan mencampurnya pada ulekan sambal di cobek. Hasil ulekan sambalnya memang tidak sampai halus, sedikit kasar tapi tampilannya yang mengkilat jelas mengundang selera.

Rujak Natsepa memang beda (foto by widikurniawan)
Rujak Natsepa memang beda (foto by widikurniawan)
Disajikan dalam piring kecil, sedikit demi sedikit saya mencicipi rujak tersebut untuk merasakan sensasi khasnya. Rasa pedis-nya ternyata diselimuti legitnya gula merah yang manis. Berpadu dengan sedikit rasa asam dan kesegaran buah-buahan lokal menjadikan rujak ini memang berbeda dengan rujak yang selama ini saya kenal.

Sambil makan rujak, menikmati sensasi pedis sambal yang khas, mata saya pun memandang ke arah pantai dan lautan. Sejumlah pengunjung, yang didominasi anak-anak, sore itu terlihat asyik bermain ombak di pantai. 

Nun jauh di sana, lautan tampak syahdu, angin semilir datang menggoda, mengelus pipi saya yang sedang sibuk bergerak karena mulut saya asyik mengunyah rujak Natsepa yang luar biasa.

Menggugah selera (foto by widikurniawan)
Menggugah selera (foto by widikurniawan)
Seporsi rujak Natsepa dibanderol dengan harga 15 ribu rupiah. Kata kawan saya, sambal rujak Natsepa juga bisa dipesan khusus untuk dibawa pulang. Tapi ah, saya tidak berniat membawanya pulang, karena sensasi makan rujak di pinggir pantai tentu akan beda jika saya memakannya di depan pesawat televisi.

"Saya sudah berjualan di sini sejak tahun 80-an, dulu masih di bawah pohon, sekarang sudah ada kios begini," cerita Mama Ci.

Bisa dibilang, usia tua dan betapa ia telah berjualan rujak selama puluhan tahun, sah menjadikan rujak Natsepa sebagai sajian kuliner legendaris. Kota Ambon beruntung memiliki Mama Ci dan para perempuan lainnya yang merawat rujak Natsepa sebagai kuliner khas.

Suasana sore di Pantai Natsepa, Ambon (foto by widikurniawan)
Suasana sore di Pantai Natsepa, Ambon (foto by widikurniawan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun