Ia seolah muncul tiba-tiba sebagai sosok yang akan bersaing dalam kancah kontestasi perebutan jabatan presiden dan wakil presiden. Bahkan kadang terasa gamang. Apakah seorang figur yang lemah lembut dan tidak begitu agresif ingin merebut kursi singgasana ini dapat memenangkan pertarungan.
Dalam proses politicking itu sendiri, kemunculan Jusuf Kalla, kadang ditengarai sebagai solusi kebuntuan mana kala pilihan-pilihan siapa yang cocok dan layak dicalonkan sebagai wakil presiden berada pada suasana "tensi tinggi", dan memiliki potensi pecah kongsi. Atau bila tidak mencalonkan Jusuf Kalla akan memunculkan rusaknya bangunan koalisi baik pada tingkat elitenya ataupun terlebih pada tingkat akar rumputnya.
Dalam konteks seperti inilah kadang hadirnya Jusuf Kalla adalah solusi bersama untuk menyelamatkan pertarungan politiknya. Atau kadang hadirnya dapat dipergunakan sebagai "sosok pengadil" ketika memunculkan pilihan lain ternyata banyak mudaratnya dan banyak memunculkan pro dan kontra.
Itulah sebabnya selama dua kali menjadi wakil presiden, Jusuf Kalla tidak pernah berubah sebagai sosok yang tenang dan penuh wibawa. Tidak kelihatan berapi-api, tidak kelihatan terlalu ambisi, tetapi kuat dan kokoh dalam menjawab berbagai persoalan di negeri ini.
Apa yang ditulis oleh saudara Yupiter Gulo, Kompasianer, yang menyoroti peran Jusuf Kalla sebagai tokoh pendamai adalah sangat selaras dengan realitanya, sebagai figur pembawa ketenteraman dan kedamaian.
Persis seperti dikisahkan dalam cerita wayang sebagai tirto panguripan yang mengandung makna sebagai air kehidupan. Menghidupi dan membawa kedamaian.
Oleh karena itu layak dan pantaslah figur yang aktif dalam dunia Palang Merah Indonesia ini juga kita hadirkan sebagai sosok yang perlu untuk dijadikan panutan bangsa. Panutan kedamaian. Panutan pekerja yang tidak terlalu ambisius tetapi kehadirannya membawa kesejahteraan dan perbaikan bagi kehidupan manusia terutama bagi bangsa Indonesia.