Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Ekosistem Kompasiana dalam Kedinamisan Ruang Digital

6 Oktober 2021   18:01 Diperbarui: 6 Oktober 2021   19:15 1256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekosistem Digital. Ilustrasi dari Pexels/KABOOMPICS

Beberapa waktu lalu pada bulan Agustus 2021, Tim Kompasiana --membantu Tim Research & Development KG Media-- mengerjakan sebuah riset yang melibatkan sejumlah Kompasianer sebagai responden survei dan in-depth interview/IDI. Riset tersebut kurang lebih bertujuan untuk melihat persepsi, motivasi dan intensi para Kompasianer. Serta bagaimana hal tersebut mempengaruhi jumlah keterbacaan pada konten yang dibuatnya.

Pada setiap akhir sesi wawancara, kami mempersilakan Kompasianer untuk bertanya perihal apapun yang mungkin bertalian dengan riset yang sedang kami lakukan.

Seingat saya, setidaknya ada 3 orang responden IDI yang pada kesempatan tersebut mempertanyakan pendapat saya mengenai ragam isu yang tengah berkembang di Kompasiana. Mulai dari penentuan Topik Pilihan hingga munculnya beberapa asumsi tentang keberpihakan Kompasiana atas kategori konten tertentu.

Semua pertanyaan itu, kurang lebih dimulai dengan kalimat berikut, "Mbak, apa pendapat Mbak tentang yang ramai-ramai kemarin?"

Karena ini bukan jenis pertanyaan yang jawabannya "ya dan tidak", tentu saja saya tak bisa menjawabnya dengan berpendek-pendek kata. Perlu ada penyampaian latar belakang, hasil riset, ragam pertimbangan, dan sejumlah faktor yang mempengaruhi, supaya jawaban tersebut tidak ahistoris atau sekadar berangkat dari asumsi semata. Itupun, saya tak bisa menjawab keseluruhannya lantaran beberapa aspek di dalamnya juga terkait dengan pos kerja divisi lain.

Dan rampungnya hasil riset pada September kemarin dapat membantu saya menjawab pertanyaan tersebut dengan lebih proporsional. Untuk kenyamanan Anda membaca uraian yang tidak singkat ini, saya akan membagi tulisan ini menjadi 2 seri artikel.

Jejak Dinamika Kompasiana
Ada begitu banyak perubahan dan dinamika yang terjadi di Kompasiana setiap tahunnya. Anda yang telah bergabung ke Kompasiana sejak lama, tentunya menyadari hal tersebut. Mulai dari jumlah konten tayang, jumlah pengguna, aktivitas, komunitas, hingga interaksi antar-Kompasianer.

Sejak lahir di tahun 2008, rumah kita ini mengalami pertumbuhan penayangan konten dan pertambahan pengguna baru (new member) secara gradual hingga tahun 2013. Grafik ini, sayangnya, sempat mengalami penurunan mulai tahun 2015 hingga tahun 2017.

Kiri: Grafik Penayangan Konten. Kanan: Grafik New Member 2008-2020. Dok. Kompasiana
Kiri: Grafik Penayangan Konten. Kanan: Grafik New Member 2008-2020. Dok. Kompasiana

Melihat penurunan tersebut, Kompasiana sebagai sebuah entitas usaha tentu saja meresponsnya dengan sejumlah upaya mitigasi. Sejak tahun 2018, kami giat melakukan inventaris masalah berbasis data, mencari tahu penyebabnya, cara penanganannya, lalu mencoba mengaplikasikannya ke ekosistem Kompasiana.

Metode pendataan yang ditempuh terutama sejak Mas Nurulloh menjabat sejak COO Kompasiana tersebut, lambat laun menjadi sebuah habitus baru yang berharga sejak pertengahan tahun 2018 hingga sekarang. Karenanya kami dapat memantau perkembangan Kompasiana secara lebih intens, bahkan dari satu pekan ke pekan selanjutnya.

Dari situlah kami menemukan ada sejumlah temuan tren yang niscaya bergulir di Kompasiana seiring berjalannya waktu (setidaknya dalam kurun waktu 3 tahun belakangan). Dan baru kami ketahui setelahnya, ternyata tren tersebut tidak hanya berkembang di Kompasiana, tetapi juga terjadi di platform lainnya.

Pertama, profil pengakses Kompasiana secara perlahan-lahan mengalami pergeseran. Pada tahun 2016, pengakses terbesar Kompasiana berasal dari kelompok usia 25-34 tahun dengan persentase 33%. Diikuti kelompok usia 35-44 tahun sebesar 31%, lalu usia 45-54 tahun sebesar 16%. Disusul usia 18-24 tahun sebesar 10%. Terakhir, kelompok usia >55 tahun sebesar 9%.

Sementara itu, data pada tahun 2020 menunjukkan pengakses Kompasiana terbanyak berasal dari kelompok usia 18-24 tahun dengan persentase sebesar 36%. Berarti, hanya dalam 4 tahun saja, kelompok  yang tadinya menjadi penyumbang traffic nomor dua paling kecil, kini menjadi kelompok terbesar.  Pengunjung terbesar kedua adalah kelompok  usia 25-34 tahun sebesar 26%, diikuti kelompok usia 35-44 (18%), usia 45-54 (12%), dan terakhir usia >55 tahun (6%).

Kedua. Persentase gender pun berangsur mengalami pergeseran. Dari yang awalnya didominasi oleh pengunjung laki-laki sebesar 59% pada tahun 2016, kini data tahun 2020 menunjukkan 56% pengunjung adalah perempuan.

Begitu pula dengan demografi orang yang membuat konten di Kompasiana. Data tahun 2018 masih menunjukkan bahwa laki-laki berkontribusi sebesar 54%. Sementara di tahun 2020, kreator terbesarnya adalah perempuan dengan angka kontribusi sebesar 52%.

Data Bukanlah Satu-satunya
Data di atas, ditambah dengan pantauan performa lainnya di Kompasiana, tak ayal telah menjadi pegangan sekaligus dasar pertimbangan kami dalam menentukan setiap strategi Kompasiana sejak beberapa tahun belakangan.

Meski demikian, Kompasiana adalah sebuah produk yang unik. Sebagai sebagai platform UGC, data lapangan bukanlah satu-satunya aspek yang mempengaruhi "kesehatan" Kompasiana.

Jika saya boleh meminjam Konsep Mandala of Public Health dari Hancock yang mencoba menggambarkan bagaimana kesehatan individu turut dipengaruhi oleh ragam aspek di sekitarnya, maka demikian pula Kompasiana tak pernah sendirian sejak tahun kelahirannya. Ada beragam stakeholders yang turut berkontribusi, mulai dari lingkungan tumbuh, opini pengguna, komunitas, suara publik/warganet umum, partner, pengelola, hingga pihak manajerial.

Dari sisi pengguna, Anda dapat melihat sendiri bagaimana kita dapat menemukan aneka ragam karakter pengguna di Kompasiana. Setiap inidividunya unik. Setiap pengguna memiliki latar belakang, motivasi, dan opini yang berbeda satu sama lain. Setiap harinya, kami mencoba untuk mencerna dinamika serta ragam masukan dari para Kompasianer yang beraneka ragam ini.

Tak berhenti sampai memantau opini pengguna secara individu, kesehatan Kompasiana juga dipengaruhi oleh aspirasi komunitas yang disuarakan secara komunal. Demikian pula ada partner dan rekan bisnis yang kerap memberikan masukan berharga bagi keberlanjutan Kompasiana.

Dan yang tak kalah penting, Kompasiana sebagai bagian dari Kompas Gramedia tentunya perlu menyelaraskan ragam program dan strategi kami sesuai arah laju kapal besar ini. Ada budaya. Identitas. Norma. Nilai-nilai yang menumbuhkembangkan Kompasiana, serta menentukan jalan yang akan ditempuh Kompasiana sesuai karakter Kompas Gramedia.

Di antara stakeholders tersebut, ada pula pihak yang "tak kelihatan", tetapi sangat krusial. Saya memasukkannya ke dalam golongan lingkungan bertumbuh. Kompasiana sebagai produk digital adalah bagian kecil dari sebuah tatanan masyarakat digital yang lebih besar.

Ada sistem, ada perangkat dalam skala yang masif, yang di dalamnya termuat regulasi, algoritma, metode, dan serangkaian indikator yang mau tak mau akan menjadi "ruang bermain" bagi setiap pelaku ruang digital. Di sini, kita berbicara tentang Google dan regulator lain. Termasuk pula pemerintah kita dengan UU ITE yang menjadi payung hukum di atas semuanya.

Meskipun tak semua faktor tak dapat saya tulis pada kesempatan kali ini, setidaknya demikianlah beberapa faktor yang jamak melandasi dinamika yang terjadi di Kompasiana.

Terutama pada ranah strategi konten --bidang yang selama beberapa tahun belakangan saya hadapi-- sejumlah inisiatif diambil dengan pertimbangan yang kompleks dari sekian banyak faktor di atas. Tentu ada pula sejumlah langkah, misalnya terkait komunitas, event, program afiliasi/K-Rewards, pengembangan website, desain, dan aspek lain yang tidak bisa saya singgung lebih dalam karena terbatasnya keterlibatan saya pada bidang tersebut dan sebaiknya dijelaskan oleh pihak yang lebih memiliki kompetensi.

Memahami kebutuhan pembaca dengan pertama-tama mengukur potensi Kompasiana
Memasuki era pandemi, Kompasiana mengalami lonjakan penayangan konten yang signifikan oleh segmen pelajar dan mahasiswa. Akselerasi digital --jika boleh diistilahkan demikian--- dalam tempo yang relatif singkat berdampak pada pada membanjirnya konten tugas sekolah, KKN, makalah, skripsi, dan konten lain yang serupa.

Para pendatang baru ini tentu saja harus disambut baik, bahkan diapresiasi. Aktivitas para pelajar dan mahasiswa di Kompasiana dapat menjadi awal perjalanan literasi digital yang penting bagi mereka. Akan tetapi, pada sisi lain, Kompasiana juga perlu mempertimbangkan kenyamanan pengguna lainnya.

Oleh karena itulah pada Oktober 2020 Kompasiana membuka kategori "Ruang Kelas" untuk mengakomodasi konten materi ajar. Pengadaan kategori ini dilakukan juga demi mengurangi risiko ketidaknyamanan pengguna yang diakibatnya oleh membanjirnya kategori lain dengan penayangan konten tugas pelajar/mahasiswa yang temanya kerap seragam.

Selain "Ruang Kelas", sejak pandemi 2020 tren Google didominasi oleh pencarian konten-konten yang temanya kian domestik. Hal ini disebabkan seiring dengan tumbuhnya kebutuhan penikmat konten untuk membuat ruang yang aman dan nyaman bagi dirinya/keluarga selama periode krisis. Maka tak heran jika tema-tema yang menunjang kualitas hidup pun mengalami peningkatan yang signifikan.

Laporan Google dapat diakses bebas dan dapat diunduh gratis. Silakan akses Year In Search 2020 Indonesia untuk mengetahui tren tersebut.

Kata kunci kesehatan mental, kesetaraan gender, WFH, cara pakai Zoom, hiburan anak di rumah, drama korea, dalgona coffee, selfcare, tanaman hias, sepeda, cara potong rambut sendiri, hewan peliharaan, laptop untuk anak, sampai ke kata kunci yang membantu perekonomian keluarga seperti "pinjaman umkm", "daftar usaha" dan "apa itu dana darurat" mengalami peningkatan yang signifikan.

Tak hanya itu, lesunya perekonomian pada tahun 2020 telah membuat masyarakat pada akar rumput bekerja lebih keras untuk mempertahankan pekerjaan atau mencari alternatif profesi. Maka kata kunci dunia kerja dan peningkatan kapasitas diri pun banyak dicari. "Online course" dan "digital marketing" adalah beberapa contoh yang memperlihatkan upaya masyarakat untuk beradaptasi dengan kebutuhan terbaru saat ini dengan pertama-tama mengeskalasi kemampuan diri.

Karena itulah pada awal 2021 Kompasiana berupaya mengakomodasi kebutuhan pembaca akan isu-isu domestik dengan meluncurkan kategori Lyfe dan Life Hack.

Dibantu dengan peningkatan intensitas Topik Pilihan dari kedua kategori tersebut, Kompasiana berharap dapat mempertemukan para pencari informasi di rimba kolom pencarian Google dengan konten-konten yang telah Anda buat. Terima kasih, Kompasianer. Konten Anda adalah telah ikut berkontribusi membantu para pembaca dan menghibur mereka di tengah masa krisisnya.

Meski begitu, Kompasiana tak hanya ingin mendukung penayangan konten gaya hidup dan tutorial saja. Bersamaan dengan lahirnya kategori Life Hack, Kompasiana membuka kategori Halo Lokal dalam rangka mendukung penayangan konten hyperlocal. Meski baru mengakomodasi 6 wilayah yang memiliki audiens terbesar, Kompasiana sungguh ingin mendengar kabar dari Kompasianer di luar Jabodetabek yang belum sempat kami jumpai tatap muka lantaran terkendala pembatasan mobilitas antar-wilayah.

Menciptakan Kompasiana sebagai rumah yang nyaman dengan konten-konten kredibel
Ada pula satu isu yang selalu kami tinjau dari waktu ke waktu, yakni angka pelanggaran konten dari bulan ke bulan. Pada tahun 2020 dan 2021, tingkat pelanggaran konten mencapai 14% dari total keseluruhan artikel yang tayang. Dengan peningkatan penayangan konten yang gradual sejak tahun 2018 hingga 2020 pada semester pertama, maka persentase 14% ini bukanlah jumlah yang sedikit.

Grafik jumlah pelanggaran konten (Biru 2020; Merah 2021). Dok. Kompasiana
Grafik jumlah pelanggaran konten (Biru 2020; Merah 2021). Dok. Kompasiana

Meski didominasi oleh pelanggaran orisinalitas, pada tahun 2021 tercatat ada 141 konten yang terindikasi hoaks serta 122 konten yang terindikasi mendiskreditkan pihak tertentu dan berisiko digugat secara hukum. Kompasiana berterima kasih atas partisipasi Anda melaporkan dugaan pelanggaran sehingga kami dapat melakukan peninjauan kembali dan menentukan tindakan atas konten tersebut.

Tingginya angka pelanggaran konten disertai aduan dari sejumlah pihak membuat kami mengaktifkan kembali fitur untuk memfilter konten yang mengandung kata kunci tertentu. Konten tersebut akan tersaring terlebih dahulu dan ditangguhkan penayangannya. Konten akan melalui proses screening lebih mendalam sebelum diizinkan tayang atau dihapus karena dinyatakan melanggar S&K Kompasiana.

Pengembangan fitur ini belumlah sempurna. Oleh karenanya, kami memohon maaf atas sejumlah kendala lapangan yang terjadi sehingga konten yang tidak mengandung kata kunci berbahaya turut tersaring. Meski begitu, tim teknologi kami terus melakukan perbaikan. Selain itu, secara berkala kami juga memperbarui daftar kata kunci dengan kueri yang lebih spesifik dan akurat.

Kian ketatnya penanganan konten di Kompasiana --selain untuk menciptakan ruang publik digital yang lebih nyaman bagi semua kalangan---juga untuk mengantisipasi kemungkinan gugatan hukum kepada Kompasianer sebagai pembuat konten, berdasarkan UU ITE.

Selain itu, Kompasiana juga berkomitmen untuk terus mendukung penayangan konten yang kredibel. Senada dengan yang disampaikan oleh Google melalui sejumlah pengumuman pembaruan sistem selama  3 tahun belakangan. Anda pun dapat ikut membacanya untuk mengetahui jenis konten seperti apa yang cenderung disukai dan kurang disukai pada mesin penelusurannya.

Terus melakukan pengembangan dan memproteksi penggunanya, Google secara bertahap memberikan porsi panggung lebih besar tempat kepada konten-konten yang kredibel secara informasi. Konten tipe ini biasanya turut menyertakan referensi, analisis, kebaruan, menghindari judul yang memunculkan konotasi berlebihan (clickbait), dan secara value melindungi penggunanya. Lengkapnya dapat Anda baca pada halaman tersebut.

Komponen perlindungan adalah salah satu yang penting dalam rangka membatasi laju penyebaran hoaks, hate speech, pornografi, pelanggaran hak cipta, dan sejumlah indikator lain yang menjadikan konten tersebut sebagai harming content. Konten jenis tersebut kian dibatasi oleh regulator lantaran banyak merugikan, menimbulkan keresahan, efek negatif, dan disinformasi di antara pengguna Google. Dan Kompasiana mendukung upaya Google tersebut lewat beberapa upaya penanganan konten serupa.

Tulisan berlanjut ke bagian 2 dengan judul "Memahami Motivasi Membuat Konten dan Ragam Implikasinya"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun