Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Aku Kehabisan Anggur

20 Juli 2020   23:15 Diperbarui: 22 Juli 2020   18:09 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Pexels | ELLE HUGHES

Apakah kegembiraan yang didapatnya setiap hari cukup untuk membuatnya semangat bangun pagi, naik sepeda berkilo-kilo, membuka rolling door tokonya yang penuh karat, lalu diam menunggu satu pelanggan per hari, yang malah menawar 50% dari banderol harga yang ditetapkan?

Apakah yang sepadan dengan ancaman tetanus, jenuh berpadu trenyuh, dan masa tua yang susah-payah.

Apa, Pak Tua, makna "anggur" dalam hidupmu?

"Harapan." Kata orang bijak di suatu waktu.

Harapan sejenis apa? Apakah sejenis harapan yang petugas statistik katakan ketika mereka membahas "Harapan hidup di Indonesia meningkat, bonus demografi mengemban tugas yang kian berat"?

Atau sejenis harapan yang disebutkan oleh para motivator di kota-kota besar yang menyarankan tak berhenti berinvestasi sampai bisa memiliki kapal pesiar, rumah dengan kolam besar, harta untuk cucu 7 keturunan, dan jiwa yang tenang untuk bisa memotivasi orang lain kemudian?

Harapan, ternyata adalah kata sederhana yang tak kupahami mengapa bisa jadi anggur dalam hidup bapak-bapak tua.

"Harapan supaya tetangga tidak protes mengapa aku tidak bekerja untuk anak-anakku. Harapan supaya semua orang tenang. Mereka tenang, akupun senang."

Ada harapan dalam barang-barang tua. Beli harga sampah, berharap bisa dijual berkali-kali lipat.

Iya juga, karenanya aku betah ngawul-awul di toko barang bekas. Di Senen Poncol, Pasar Baru. Untuk dua tiga potong kulot yang saat itu belum keluar trennya. Apakah itu yang namanya harapan? Bau apek, harus dicuci air hangat, kucek deterjen dua kali, tapi enak dipakainya?

Berapa harga sebuah harapan, Pak Tua?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun