Boro-boro kan. Mau tidur aja belum tentu 1 anak punya kamar sendiri. Lha di rumah saya tinggal ini, motor diparkir dalam rumah gara-gara nggak punya garasi. Apa nggak nempel itu semua residu, virus di ruang tamu. Sampingnya udah ruang TV buat leyeh-leyeh. Tapi Wid, kan tiap orang punya pilihan? Iya sih.. tapi seberapa banyak pilihanya? Kalau pilihan bereproduksi sesuai dengan kemampuan keluarga, okelah.
Tapi kan kalau dari kecil nggak punya akses pendidikan, gak dikasih imunisasi oleh orangtuanya karena keterbatasan biaya, sakit polio, dinikah siri saat muda hanya demi mendapat pemasukan ekonomi, suaminya sakit kanker, dicerai, lalu balik lagi tinggal di rumah petak keluarganya yang dihuni oleh 5 generasi, terus gimana? Ini kejadian beneran lho di tetangga saya.
Karena pilihan mereka terbatas, mereka pun terdampak dua kali dalam pandemi ini.
Pertama, penghidupan mereka di sektor informal terancam. Kalau gak dagang, mereka gak akan punya uang buat hidup. Tapi kalau jualan, riskan bakal kena virus. Pun dagangannya terancam nggak laku: yang naik angkot sedikit, cilok depan SD nganggur, terus nggak ada yang butuh sol sepatu (mending duitnya dipake buat beli masker kan?) Pilihannya apa lagi dong? Coba ngelamar kerja? Jadi apa? Youtuber?
Gitu.
Wah jadi panjang kan ngelanturnya. Enak sekali ya mengeluarkan uneg-uneg di tengah kejenuhan WFH ini. Harapannya bisa bangun siang dan kerja sambil leyeh-leyeh. Tapi yang terjadi adalah jadi nggak ada beda antara istirahat dan kerja. Kesakralan waktu istirahatku pun ternoda.
Tapi apapun yang terjadi, kita tetap harus bersyukur dan mengapresiasi para pekerja yang harus keluar rumah saat situasi genting seperti ini. Hormat saya buat pekerja medis, teknisi yang menjamin pasokan listrik, air, jaringan telekomunikasi, buruh media, pekerja industri pangan, transportasi, driver apapun wujudnya, rohaniwan yang rela berjauhan sementara dengan umatnya, dan siapapun yang berjuang di luar sana.
Dan terutama, buat tetangga-tetangga saya yang apa adanya. Saya kesal liat kalian berkeliaran, tapi ikhlas dan pasrah. Sebagai manusia utopis pesimistik leyeh-leyehis yang melankolis, yang saya bisa hanya memahami. Nikmatin aja.
Bapak saya juga buruh pabrik garmen kok, yang punya target menghasilkan sekian pakaian per harinya. Beliau masih kerja pulang-pergi dan sangat mungkin terpapar yang aneh-aneh. Doakan ya...
Semoga privilese yang kalian miliki tidak membuat kalian abai atau menganggap masyarakat gang kecil begini adalah tipe orang yang tidak berusaha dan selalu mengingkari opsi yang lebih baik bagi dirinya.
In the end.......Seberapa pun mutakhirnya istilah, metode, protokol, atau teknologi yang kita gunakan, perlu diingat bahwa kita memiliki ragam lapisan masyarakat yang tidak semuanya mendapatkan akses informasi dan edukasi, bahkan sejak sangat lama. Plis banget ini, karenanya mohon saling tahu diri. Hindari panic buying supaya harga Kinderjoy tetap stabil.