Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kita Hanyalah Para Jelata yang Mencoba WFH

20 Maret 2020   19:44 Diperbarui: 9 Juli 2020   12:12 13366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI. Warga beraktivitas di permukiman kumuh kampung nelayan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Okelah saya cari cara lain biar selamet. Karena masih banyak orang-orang berlalu-lalang di jalan, saya bertekad untuk menjaga jarak aman 1 meter. Tapi ya apa daya ya. Kalau warga udah bergerombol, terus saya maksa jaga 1 meter, yang ada saya nyemplung ke comberan. Kan gang saya nggak sampai 3 meter lebarnya. Mana pada beberapa titik ada yang melihara soang. Coba bayangkan betapa challenging-nya!

Begitu sampai lagi ke rumah (pulang dengan tangan hampa karena barang yang dicari tidak tersedia), rasanya lapar betul! Capek emosi karena tampaknya masih banyak orang yang mengabaikan imbauan tersebut. 

Terlebih lagi, banyak warga yang duduk di luar untuk sekadar nongkrong-nongkrong aja. Rasanya ingin sekali saya belikan PS 4 hanya supaya mereka main di dalam rumah. Sayangnya, saya juga mau beli satu buat diri saya. Itupun nggak pernah kejadian.

Saya yakin di Indonesia banyak pekerja WFH seperti saya. Yang masih berjuang memenuhi kebutuhan kerja online dengan apa yang kita miliki di rumah. Masih akan banyak miting online yang diwarnai oleh background cucian, anak gelendotan, suara Kang Bangunan, Mbok Jamu gedor-gedor nawarin jahe merah, dan suara ibu yang udah nggak kuat mau nonton TV sementara ruangannya kita pinjam buat video call-an. "Udahan belom?" gitu mulu tanyanya.

Tapi selain kita yang berjuang WFH-an, ternyata masih ada lagi lapisan masyarakat yang bahkan gak bisa terima kenapa kok kalau batuk mesti ditutup pakai siku. Repot amat, katanya. Ya contohnya kayak tetangga-tetangga saya. 

Jangan-jangan selama ini tetangga saya ngetawain orang-orang maskeran karena buat mereka ya masa-masa korona hanyalah satu hari lain, yang mereka perjuangkan seperti kemarin-kemarin.

Kalaupun mereka peduli dan rela tinggal di rumah, saya udah ngebayangin situasinya bakal tetep rame juga. Kalau di Italia orang-orang pada orkestra dari balkon, di sini mah begitu juga. Cuma bedanya, bukan dari balkon, tapi mesti buka pintu dulu soalnya jendelanya tuh tipe yang bukaan bawah doang. Paham kan? Terus kalo buka pintu dulu, sama aja dong. Yang ada malah pada kangen-kangenan.

Itu kalau lagi akur. Kalau lagi berantem, balik lagi-lempar-lemparan hanger dari sela-sela pintu. Terus tetangga lain ada yang ngiringin pakai tanjidor. Kiri nyetel Linkin Park, kanan nyetel Wali. Sisanya pada nonton deh. 

Hiburan masyarakat kecil kan kekisruhan, lumayan di sela-sela kejenuhan. Cuma tetangga Hindu aja di tengah gang, yang minggu depan mesti fokus beribadah Nyepi di tengah kegaduhan.

Contoh keluarga yang butuh ruang buat social distancing dalam rumah. Hehe. Dokumen: Atlantica/NEON
Contoh keluarga yang butuh ruang buat social distancing dalam rumah. Hehe. Dokumen: Atlantica/NEON
Jadi ingat seminggu lalu saya ngetwit tentang tetangga yang menurut saya nggak punya pilihan. Hidup kayak cuma numpang dapat duit recehan dari jualan bubur yang harganya nggak sampai 10.000 per porsi sejak saya kecil, terus sakit, meninggal. Seorang teman merespons, menyatakan ketidaksetujuannya. Menurutnya, setiap orang punya pilihan. Masalahnya, saya ngomong gitu bukannya tanpa pengalaman. Kan udah dua pertiga usia saya di sini, siklusnya gitu-gitu aja.

Kalau bisa memilih, siapa sih yang nggak mau hidup di keluarga kaya. Yang dari kecil udah dapat imunisasi macam-macam, pendidikan terjamin, kenal sama orang "sekelas", mau lanjut S2 nggak pake mikir harus kerja buat bantu keuangan keluarga dulu, terus nikah, repeat.

Lha enak kalau sejak lahir, orangtuanya punya rumah gede. Kalau menerapkan social distancing jarak 1 meter, terus anggota keluarganya 5 orang dijejerin, yang paling ujung tetep aja masih di dalam rumah sendiri. Lha kalo anak di keluarga miskin mau social distancing, apa anggota keluarga yang terakhir nggak akhirnya offside ke rumah tetangga?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun