Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

7 Rumor Traveling ke India, dari Makanan Jorok sampai Keamanan Perempuan

6 Maret 2019   22:47 Diperbarui: 22 Februari 2023   21:21 16837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu gerbang Pink City, Jaipur. (Foto oleh WIDHA KARINA)

Sekali lagi, keamanan yang saya dan Nisa alami belum bisa jadi patokan utama buat para traveler perempuan. Tanpa mengurangi simpati kami pada turis yang mendapat pelecehan seksual selama di India, saya mau mengimbau untuk tetap selalu waspada. Setiap wilayah di India pasti punya kondisinya sendiri, dan bisa saja ada wilayah lain yang kurang ramah bagi perempuan.

6. "India kan padet banget penduduknya, ih!"

Iya sih, katanya angka populasi orang di India adalah kedua tertinggi setelah China. Karenanya, saya berniat buat membuktikan Delhi yang legendaris karena kepadatan penduduknya. Saya jadi inget di sebuah forum jalan-jalan, ada orang yang minta rekomendasi tempat yang less crowded di Delhi. Eh jawabannya kochak. "Just don't go to Delhi." Bahaha.

Keylah... saya dah menyiapkan mental nih ceritanya. Tapi pas nyampe .... Kok ya B aja. *ketapketip*

Emang dah salah banget kalau yang disuruh komentar adalah nak Jakarta nyang tiap harinya jejel-jejelan di Stasiun Tanah Abang, tinggalnya di gang padat penduduk daerah Senen, dan doyan mainnya ke Pasar Baru dan Jatinegara. Mana? Mana padatnya, saya hadepin!

Met malem, cinta... (Stasiun Tanah Abang. Foto oleh ALEX SUBAN | WARTA KOTA)
Met malem, cinta... (Stasiun Tanah Abang. Foto oleh ALEX SUBAN | WARTA KOTA)
Gengs, Delhi di jam kerja emang macet sih (tapi halo, ada Cawang? Bulevard Kelapa Gading, Mampang, en MARGONDA?) Mobil di sana memang padat merayap, semua kendaraan mencet klakson! Hampir semua ruas jalan warnanya merah di peta. Iyah bener, bikin stres. Tapi begini, saya punya ide. Gimana kalau nanti ke Delhi, jangan naik mobil tapi cobain yang namanya Delhi Metro. Delhi Metro punya 9 lines/koridor, udah kayak gurita yang tentakelnya menjangkau tiap sisi Delhi. Masing-masing koridor ada relnya sendiri-sendiri, jalannya gak pake nunggu susulan KA luar kota, KA bandara, atau kereta barang.

Di jam sibuk pun, penumpangnya nggak mak werrr berlarian begitu pintu kereta terbuka karena kereta selanjutnya bisa datang 3 menit sekali. Jadi meski penduduknya banyak, selama di Delhi saya nda liat ada penumpukan penumpang. Begitu dateng, langsung diangkut. Jadi meski padat, di dalam kereta pun masih terasa nyaman. Peron pun nggak sesak jadinya.

Dan yang bikin Delhi nggak terasa sesak mungkin karena mereka punya buanyak syekaleh ruang publik. Ada puluhan taman (gede-gede yes), museum, pusat jajan, alun-alun, benteng-benteng, dan makam! (Iya euy, makam aja bisa rapi ijo gitu kek tempat piknik.) Jadinya orang tuh nyebar gitu. Nggak ndelalah tumplek padet kayak di Monas, GBK, atau Kota gitu. Etapi gatau ding kalo lagi festival. Yo mesti rame sih pasti.

7. "Katanya banyak scam ya?"

Yang ini (sayangnya), tegas saya nyatakan: iya. Waduu, poin ini mah bisa jadi satu artikel sendiri. Banyak banget modusnya. Setiap travel blogger punya pengalaman jenis penipuan yang luar biasa banyak ragamnya. Tapi gatau ya ini India sebenarnya banyak scammer atau hanya kebanyakan orang dengan gelar S3 marketing. Pinter bat menggiring orang untuk mengeluarkan uang. Belom tahu dia, saya dah biasa kena tipu daya abang-abang Poncol.

Anak Senen. Terlatih. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Anak Senen. Terlatih. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Yang paling harus diwaspadai adalah di lokasi wisata. Mulai dari pintu masuk sampai pintu keluar, ada aja kreativitasnya. Sebenarnya tuh orang di sana cuma menawarkan bantuan/layanan yang lumrah bagi wisatawan, tapi kadang suka ada taraaa, biaya tak terduga atau penawaran lain yang kita jadi nggak enak nolak karena utang budi, dll. Karenanya turis jadi suka antipati sama wujud layanan yang sesungguhnya nggak mencurigakan sama sekali, hanya karena takut terjebak sesuatu di akhirnya.

Sebagai contoh, jasa transportasi yang nawarin muter ke langsung banyak tempat dengan harga murah di bawah rata-rata. Ehm, bisa jadi dia akan menyelipkan destinasi belanja "toko rekanannya" supaya dia dapat komisi. Atau contohnya di Jaipur nih, ada anak kecil yang repot-repot turun dari motornya dan nawarin apakah kami butuh bantuan buat difoto. Karena gak butuh, jadi kami jawab, "No, thanks". Tapi dia terus memburu, "Yes. Yes! Yes!" sambil maju-maju agresif. Karepmu, bleh ... Ngeyelo nganti sesok.

Atau bisa jadi petugas tempat wisata sediri yang melakukannya. Saat itu saya belum bener-bener dapat foto perempuan India dengan saree. Karena ada petugas kebersihan yang lagi leyeh-leyeh, saya tanya apakah saya boleh ambil fotonya. Dia ngangguk dan menyilakan saya duduk di sampingnya. Pas udah samping-sampingan, dia berbisik, "Money". Modyaro. Mintanya juga banyak, 100 rupees, alias 20.000 rupiah. Jadi kalau kamu liat seseorang lagi mejeng di background cakep, perlu curiga jangan-jangan ia sedang mejeng buat menarik seseorang untuk memotretnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun