Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Maaf Widha, Mukamu Jawa Sekali"

13 Mei 2018   15:18 Diperbarui: 21 Mei 2018   11:11 4260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pria-pria berbeskap. Foto ilustrasi oleh WIDHA KARINA.

Selama beberapa saat kami bertiga duduk diam-diam dalam kikuk. Saya tak pandai menghibur orang. Dan kali ini, saya tak tahu persis, siapakah yang sepatutnya dihibur: Nio atau saya. Maka saya hanya berusaha tenang dan berkali-kali mengucapkan, "Iya, tidak apa-apa," sambil bertanya dalam hati mengapa Nio membenci orang Jawa. Dan apakah saya juga termasuk dalam orang yang ia benci? Kepala saya dipenuhi pertanyaan. Bergantian dengan munculnya perasaan kaget, heran, sedih, dan bingung.

Baru perlahan, setelah Nio mengatur emosinya, ia baru bisa bercerita dengan lebih teratur. Ternyata, saat peristiwa Santa Cruz, ia dan ibunya harus mengungsi ke Timor Barat untuk menghindari suasana yang mencekam di Timor Timur. Di perjalanan, truk yang mereka tumpangi dicegat oleh serombongan tentara. Tentara yang didominasi wajah-wajah Jawa. Mereka memaksa Nio dan ibunya turun secara paksa. Dan untuk alasan yang belum dipahami Nio ketika itu, ibu Nio hampir saja diperkosa.

.

Nio menangis.

.

Sejak saat tipikal wajah Jawa menjadi begitu mengerikan di mata Nio. Baginya, setiap bahasa Jawa yang dia dengar adalah teror. Ia mengaku kesulitan mengendalikan emosinya ketika harus berinteraksi dengan begitu banyak orang Jawa karena harus menjalankan studi di Jakarta. Membicarakan trauma perang di Timor Timur, dan bahkan berkawan baik dengan saya, yang adalah seorang Jawa, adalah sebuah lompatan besar untuk Nio.

Saya baru saja mengorek luka lama Nio. Saya yang bermuka dan berdarah Jawa ini, tapi lahir dan besar di Jakarta. Padahal saya ini katanya Jawa palsu. Jawa yang lebih piawai menuturkan bahasa Indonesia dan hanya bisa berbahasa jawa ngoko gado-gado. Seorang Jawa yang tidak paham arah mata angin, unggah-ungguh, filosofi Jawa, apalagi sejarah kerajaan. Alih-alih merasa Jawa, kali ini saya merasa dituduh sebagai orang Jawa.

Dan mengapa saya harus dibenci atas kejawaan saya? Untuk peristiwa yang bahkan tidak saya pahami.

Saat itu saya merasa terluka. Tapi Nio apalagi.

Superioritas yang melenakan
Selama ini saya merasa baik-baik saja dengan identitas kejawaan saya. Meski Jawa palsu, saya merasa tidak ada yang salah dilahirkan dalam tubuh orang Jawa (kan kita nggak minta ya). Saya bangga lahir dalam tradisi Jawa. Presiden di negeri ini, orang Jawa. Buka saluran TV apapun, yang dibahas Pulau Jawa. Di berbagai rapat kantor, istilah bahasa Jawa bertebaran di mana-mana. Hidup terasa dipermudah. Identitas ini menguntungkan saya.

Tetapi saya luput mengindahkan raut bingung teman-teman saya asal Flores dan Palembang ketika saya asyik melatih bahasa Jawa dengan teman kuliah asal Magelang. Saya asyik sendiri, hingga luput menyadari bahwa kenyamanan ini membuat saya tidak peka. Bahwa sikap eksklusif kerap membuat orang lain tidak nyaman. Dan bahkan ada yang terluka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun