Oh dan tentu saja saya belum menyebut air laut yang bahkan di pelabuhan pun terlihat bening! Huhuhu ..... Sayangnya agak susah menemukan spot nyemplung karena akses menuju pantai kok ya terjal. Selain itu kalau sudah nyemplung, susah membedakan mana air dangkal dan palung (aku kan ngeri). Pula banyak sampah yang ehem, ternyata sudah banyak memenuhi pantai walau airnya tetap jernih.
Penyesalan nomor 3, karena belum membaca informasi sebelumnya, bagi kami pantai hanyalah sekadar pantai untuk direnangi. Padahal di perairan tersebut pernah berlabuh galiun-galiun penuh meriam, galei, rorehe, dan segala bentuk kapal pedagang yang katanya mewah-mewah.
4. Masyarakat dan lain-lain
Penyesalan terakhir tentu saja ketakpekaan saya pada keunikan karakter masyarakat Ternate dan Tidore. Meski telah digempur oleh perang selama beratus-ratus tahun, warganya tetap kuat dan menggeliat bagaikan dua gunung kokoh yang menaungi mereka: Kie Matubu dan Kie Tobona/Gamalama.
Kedua gunung berapi ini, dalam "Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa" menjadi metafora karakter kedua kesultanan yang terus berseteru dan menggelegak penuh amarah. Angkuh dan berbahaya, tetapi anggun dan digdaya.
Jika saya lebih awal mengetahui betapa dahsyat dan berakarnya perseteruan dua kesultanan pulau mungil ini, tentulah saya dapat memahami kata-kata bapak tadi, yang menyayangkan betapa pemerintah pusat kurang memerhatikan pulaunya yang setia kepada NKRI dibandingkan --menurutnya-- Ternate. Tetapi kepada saya yang seorang pendatang, ia berusaha menutupi rasa kecewanya karena toh Tidore dan Ternate bukan lagi lawan, melainkan sama-sama orang Indonesia. Dan bagaimana pun juga, leluhur Tidore dan Ternate pun aslinya adik kakak.
Keunikan lainnya saya lihat ketika mengamati tradisi orang Ternate, yang meskipun benci dengan Portugis (dan Spanyol), masih menggunakan kebiasaan Kaum Farang (sebutan untuk orang kulit putih) dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya menggunakan kata forno untuk kata ganti pemanggang/oven dan berpesta dansa ala senhor dan senhorita.
Pula tak ketinggalan tentang spiritualitas Islam yang demikian kental dalam pribadi orang-orang Ternate dan Tidore. Baik Ternate dan Tidore sempat pula mengalami konflik horizontal yang tahun 1999 menghantam seluruh tanah Maluku dan wilayah lainnya di Indonesia. Saat itu warga terbelah antara penduduk Islam, Islam dengan langgam tradisional kesultanan, dan Kristen serta Katolik.
Menurut cerita yang saya dan Ivana dapatkan dari beberapa orang lokal, peristiwa berdarah tersebut menimbulkan trauma yang cukup dalam. Dan masyarakat Ternate, Tidore, serta Maluku/Maluku Utara keseluruhan yang kita temui sekarang adalah masyarakat yang masih memulihkan diri untuk hidup rukun penuh ragam secara berdampingan tanpa saling menyakiti.
At the end... it does (even) matter
Ah, pokoknya terlalu banyak hal berkesan yang saya dan Ivana temui dalam perjalanan kami tahun lalu. Sesungguhnya saya sudah terlampau malas menuliskannya (karena tentu saja banyak detil yang sudah terlupa).