Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cita-citanya Sih, Ingin Jadi Sailormoon untuk Indonesia

17 Agustus 2017   19:53 Diperbarui: 29 Agustus 2017   10:16 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sailormoon kesayangan! (viu.tv)

Ketika kecil, saya menggilai Sailormoon. Dialah superhero pertama saya yang manis, menggemaskan, dan punya niat luhur menjaga dunia (bahkan jagain bulan! Kalah dah pasukan perdamaian PBB). Mengimbangi Sailormoon, saya rajin membaca majalah Bobo sejak duduk di Taman Kanak-kanak. Ratusan, mungkin ribuan profil pelajar berprestasi yang saya baca di sana bisa jadi telah menginspirasi saya untuk menjadi seorang anak yang kelak bisa terpampang di majalah Bobo dan membanggakan negerinya.

Saya bersyukur pada masa itu program hiburan masihlah berpihak pada anak-anak.  Meski digempur oleh tayangan asal Jepang seperti Doraemon, Sailormoon, Esper Mami, Oshin, Candy-candy, Kamen Rider, dan Ultaraman, sebagain besar mengusung nilai perjuangan dan kepahlawanan. Bahwa hidup tak bisa hanya leyeh-leyehdan menyerah pada keadaan. Bahwa adaaaa saja orang-orang yang mengganggu kedamaian dan tugas kitalah untuk menjadi pribadi yang berbela rasa, membela yang lemah, dan mengupayakan perdamaian dunia.

Dan jadilah nilai-nilai itu menghegemoni dalam kepala saya.

Tumbuh sebagai anak yang mudah sedih dan gampang iba pada apapun yang tampak mesakke, saya pernah tersedu-sedu menangisi bangsa ini. Hahahahahah!

Peristiwanya saat saya kelas tiga SD, kami sekelas tak boleh pulang lantaran di luar sana sedang terjadi kerusuhan. Satu kelas jadi tegang dan bingung karena ibu guru mengatakan hal-hal yang tidak kami pahami. Saya duduk saja di meja, sementara satu per satu siswa mulai pulang dijemput orang tuanya.  Duduk merenung, lambat laun saya mengunyah semua informasi dengan jelas. Beberapa hari kemarin di sekolah saya harus menyaksikan barikade tinggi, berduri, padat, dan jalanan yang lengang untuk dapat ke sekolah.

Selang dua tahun sebelumnya, kami sekeluarga terkunci dalam pusat perbelanjaan karena di luar tank-tank TNI sudah siap menghadang sekelompok orang. Pengunjung dikeluarkan satu per satu dari sebuah pintu kecil, berhamburan ke jalanan penuh batu dan senjata, yang dulu tidak saya tahu di mana. Ibu sedang hamil tua. Bersama bapak kami berlarian ke sepanjang jalan yang kini saya paham lokasinya: Senen.

Dan tahun 98 berlanjut dengan asap dan api, dan saya akhirnya paham di kelas itu, apa yang sedang terjadi di luar sana. Bisa jadi ada banyak orang-orang ketakutan. Sontak saya menangis, tersedu, lalu berseloroh, "Bangsaku kenapa begini?" Saya ingat sekali momen itu. Tua ya? Hahahhaha... Setelah menangis saya menengok ke belakang. Teman saya, yang kini menjadi teman baik saya, tengah piket menyapu, sambil curi-curi melongo melihat saya. Saya ngelap ingus, antara malu dan merasa lucu. Tapi haru.

Sailormoon cupu
Sebagai pahlawan karbitan bermodalkan tontonan Sailormoon, saya merasa tak berdaya. Padahal hasrat dalam tubuh ini ingin sekali berganti pakaian perang loreng-loreng (kedua kakek saya militer dan saya suka takjub lihat foto mereka. Meski demikian imajinasi bocah memang tiada sinkron samsek. Yakali Sailormoon pakai rok pendek tapi loreng-loreng). Setelah ganti baju perang, rasanya ingin pergi ke tengah-tengah kerusuhan hanya untuk berteriak, "KALIAN PADA NGAPAIN SIH? BUBAAR, BUBAAARRR!!"

Akhirnya tiba saatnya saya dijemput oleh keluarga saya yang lain (orang tua saya keduanya bekerja. Yang saya tahu kemudian, pada hari yang sama, bis yang ditumpangi bapak saya untuk pulang kerja, distop sekelompok orang di jalan tol dan dipaksa berteriak kata-kata provokatif. Kemudian bapak pulang jalan kaki sembari gemetaran, entah takut entah lapar).

Lompat beberapa tahun kemudian hingga tiba saatnya saya kuliah, saya jadi menaruh banyak sekali perhatian tentang sejarah, tentang luka bangsa ini, dan berapa banyak yang menangis hanya karena satu atau dua orang egois. Lalu orang-orang egois tadi berjumpa dengan satu atau dua orang yang mudah disulut. Lalu pertikaian menjadi demikian besar, hingga anak usia 8 tahun pun bisa merasakan aura kesedihan itu, hingga banyak orang di luar sana menjadi trauma.

Akhirnya saya memilih jurusan kuliah yang sekiranya dapat membuat saya mengetahui apa yang sebenarnya mengendalikan kerusuhan dan menentukan arah perjalanan bangsa ini. Saya menjadi tahu, bahwa peristiwa menyedihkan di negeri ini tidak hanya berlangsung pada tahun 1996 -- 1998, melainkan juga tahun 1999 -- 2001 di Maluku, puluhan tahun di Timor Leste dan Aceh, dan masih buanyak lagi. Bahkan masih ada kekuatan lebih besar di luar negeri yang berkelindan dalam konflik negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun