Mohon tunggu...
Abrurizal Wicaksono
Abrurizal Wicaksono Mohon Tunggu... Pekerja Sosial

Abrurizal Wicaksono adalah seorang profesional di bidang manajemen keuangan dan hibah dengan pengalaman lebih dari 8 tahun di organisasi internasional dan lembaga non-profit, khususnya dalam perencanaan anggaran, pengelolaan dana multi-donor, kepatuhan donor, serta penilaian risiko. Di luar profesinya, Abrurizal juga aktif sebagai penulis lepas di Kompasiana, membagikan refleksi sosial, dinamika ekonomi keluarga, serta kisah personal yang mengangkat realitas kehidupan sehari-hari. Perpaduan antara keahlian teknis di bidang keuangan dan kemampuan menulis yang reflektif menjadikannya sosok yang analitis, adaptif, dan komunikatif dalam berbagai situasi profesional maupun sosial.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Menunggu Waktunya: Hidup dalam Sistem yang Tak Bisa Kita Pilih

16 Februari 2025   12:29 Diperbarui: 16 Februari 2025   22:25 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Step Out | Sumber Gambar: Photo by Freddy Kearney on Unsplash       

"Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does." --- Jean-Paul Sartre

Saat lahir, kita tidak menandatangani kontrak. Tidak ada opsi "setuju" atau "tolak" seperti dalam syarat dan ketentuan aplikasi. Kita hanya muncul di dunia, diberi nama, dan tanpa bertanya, langsung masuk dalam permainan yang sudah berjalan lama sebelum kita ada.

Seperti pion dalam catur, kita ditempatkan di papan yang tak kita pilih, dengan aturan yang tak kita buat. Dan ironisnya, saat kita mulai memahami permainan ini, sering kali kita sudah berada di tahap akhir.

Babak I: Lahir Tanpa Meminta, Hidup dengan Realita

Jika ekonomi adalah permainan, maka mayoritas dari kita bukan pemain utama. Kita lebih seperti latar belakang dari skenario besar yang dikendalikan segelintir elite ekonomi dan politik.

David Ricardo memperkenalkan Iron Law of Wages, yang menyatakan bahwa upah pekerja cenderung kembali ke tingkat minimum---cukup untuk bertahan hidup, tapi tidak lebih. Kapitalisme modern masih mengikuti pola ini. Upah kita bukan cerminan dari produktivitas, melainkan batas minimum agar kita tetap bekerja tanpa benar-benar sejahtera.

Rutinitas kita pun nyaris seragam: kerja dari pagi hingga malam, semata-mata agar listrik tetap menyala dan perut tetap terisi. Dalam Fight Club (1999), Tyler Durden berkata:

"We work jobs we hate so we can buy shit we don't need."

Kapitalisme menciptakan paradoks konsumsi: kita bekerja keras untuk membeli sesuatu yang sebetulnya tidak kita perlukan, demi mengejar kebebasan finansial yang selalu terasa jauh dari genggaman.

Babak II: Ilusi Pilihan dan Perjalanan Tanpa Arah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun