"Man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does."Â --- Jean-Paul Sartre
Saat lahir, kita tidak menandatangani kontrak. Tidak ada opsi "setuju" atau "tolak" seperti dalam syarat dan ketentuan aplikasi. Kita hanya muncul di dunia, diberi nama, dan tanpa bertanya, langsung masuk dalam permainan yang sudah berjalan lama sebelum kita ada.
Seperti pion dalam catur, kita ditempatkan di papan yang tak kita pilih, dengan aturan yang tak kita buat. Dan ironisnya, saat kita mulai memahami permainan ini, sering kali kita sudah berada di tahap akhir.
Babak I: Lahir Tanpa Meminta, Hidup dengan Realita
Jika ekonomi adalah permainan, maka mayoritas dari kita bukan pemain utama. Kita lebih seperti latar belakang dari skenario besar yang dikendalikan segelintir elite ekonomi dan politik.
David Ricardo memperkenalkan Iron Law of Wages, yang menyatakan bahwa upah pekerja cenderung kembali ke tingkat minimum---cukup untuk bertahan hidup, tapi tidak lebih. Kapitalisme modern masih mengikuti pola ini. Upah kita bukan cerminan dari produktivitas, melainkan batas minimum agar kita tetap bekerja tanpa benar-benar sejahtera.
Rutinitas kita pun nyaris seragam: kerja dari pagi hingga malam, semata-mata agar listrik tetap menyala dan perut tetap terisi. Dalam Fight Club (1999), Tyler Durden berkata:
"We work jobs we hate so we can buy shit we don't need."
Kapitalisme menciptakan paradoks konsumsi: kita bekerja keras untuk membeli sesuatu yang sebetulnya tidak kita perlukan, demi mengejar kebebasan finansial yang selalu terasa jauh dari genggaman.
Babak II: Ilusi Pilihan dan Perjalanan Tanpa Arah