Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alor, Sebuah Peta yang Terlupa

11 Juli 2020   23:40 Diperbarui: 12 Juli 2020   13:42 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Pantai di Alor, dokumen pribadi)

Maritaing, ibukota kecamatan yang pertama disinggahi sebagai wilcah (wilayah cacah)  pertama. Wilcah ini sebutan untuk lokasi sampel survey. Total ada 8 wilcah yang akan kami singgahi. 

Artinya akan ada 8 kecamatan yang akan dijelajahi dengan masing-masing kecamatan terdiri dari rata-rata 8-10 desa. Ini belum menghitung persebaran dan pertambahan responden survey kami yang sangat mungkin sudah berpindah desa atau beranak-pinak di desa lain.

Kami bertolak ke Kecamatan Alor Timur, dengan Ibu Kota Kecamatan Maritaing. Kurang lebih hampir 4 jam perjalanan kami tempuh dengan kendaraan pick up yang disewa. Kendaraan angkutan itu layaknya pick up biasa yang didesain untuk angkutan umum dengan diberi kap penutup di atasnya. Itulah salah satu angkutan di sana selain juga mobil truk.

(Kondisi jalan dan angkutan di Alor. (Foto dokumen pribadi)
(Kondisi jalan dan angkutan di Alor. (Foto dokumen pribadi)
Tak terbayangkan jalan yang akan dilalui serusak dan berdebu itu. Alhasil, tidak sedikit dari kami yang mabuk perjalanan. Obat anti mabuk pun kandas tak berbekas. 

Hanya rasa pusing dan mual yang terus membayangi. Selama perjalanan itu, mobil kami harus berhenti beberapa kali karena kondisi kami yang pusing dan juga mesin mobil yang terlalu panas.

Untunglah pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan luar biasa indahnya. Menyusuri garis pantai di Alor luar biasa cantiknya. Belum pernah kutemui pemandangan ini seumur hidupku. 

Rasa pusing dan mual terbayar dengan memandang cakrawala lautan yang biru, jernih, dan memantulkan kesejukan. Ingin berlama-lama berdiam diri memandang di sana. Dalam hati bertekad, nanti akan kusempatkan memandang keindahan seperti ini di lain waktu.

Di perjalanan, kami melewati perkampungan yang sangat tradisional. Rumah-rumah hanya terbuat dari kayu dan bambu dengan atap ijuk atau dedaunan. Aku menyaksikan sendiri, ternyata bangsa kita masih ada yang tinggal di rumah-rumah seperti itu, yang tentunya tak ada listrik dan sangat mungkin juga minim air bersih.

(Salah satu tempat tinggal penduduk Alor. (Foto dokumen pribadi)
(Salah satu tempat tinggal penduduk Alor. (Foto dokumen pribadi)
Tapi, tak terlihat sendu pada bias wajah mereka. Anak-anak gembira berlarian dan bermain di pelataran. Sebagian anak-anak itu malah tidak berpakaian. 

Meski begitu, wajah mereka masih bisa menunjukkan kegembiraan. Sepintas kusaksikan pemandangan itu dalam perjalanan. Dalam hatiku berkata, "mungkin realitas seperti itulah yang akan sering kujumpai selama tugas di Alor ini."

Tahukah kalian bahwa masih banyak orang-orang di sana yang tidak bisa membayangkan mengenai jalanan aspal yang mulus dan lebar? Bahkan mereka pun tak bisa membayangkan mengenai gedung-gedung pencakar langit yang terang benderang yang berlantaikan granit atau marmer halus. Juga tak tahu apa itu lift dan eskalator.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun