Itu kata-katamu disela rintihan sakitnya. Sungguh engkau adalah ibu sejati yang selalu berjuang untuk anak-anakmu. Lelah dan sakit bukan kendala untuk memikirkan nasib anak-anakmu.Â
Aku jadi berfikir, apakah selama ini, sebelum-sebelumnya, engkau pernah sakit namun tak pernah engkau rasa hanya demi anak-anakmu? Seumur hidupku, hanya beberapa kali saja melihatmu sakit. Itu pun tak menyurutkan tenagamu untuk terus bekerja mengurus rumah dan anak-anakmu.
Begitu cepat engkau meninggalkan ku, meninggalkan kami semua. Masih banyak hal yang belum sempat dilakukan untukmu. Masih banyak harapanmu yang belum sempat engkau rasakan.Â
Mamah belum sempatkan melihatku wisuda, kan?  Menyesal rasanya aku tak bisa wisuda pada  Desember kemarin. Seandainya saja Mamah bisa melihatku wisuda, mungkin akan lain keadaannya. Mamah belum sempat melihat Budi lulus kuliah, kan? Mamah belum sempat melihat Nok lulus SMA, kan? Belum sempat kan mamah melihat Adi, Widia, Purnomo dewasa? Belum sempat kan Mamah melihat anak-anaknya sukses?
Selamat jalan Mamah, meski engkau telah tiada dan jasadmu berkalang jelaga, namun jiwamu ada di hati kami semua. Di hati Papah dan anak-anakmu. Ijinkan kami mengumpulkan amal jariah untukmu.
_
"A, pulang yuk. Sudah sore. Takut keburu hujan, tuh sudah mendung," tiba-tiba suara dan tepukan Nok di pundak mengagetkanku.
"Oh iya, yuk pulang" jawabku. Tak terasa hampir sejam ku berjongkok di sini.
"Mah Wibi, Nok, sama Purnomo pulang dulu ya" ucapku sambil ku taburkan bunga di atas tanah merah itu.
Kami berlalu meninggalkan Mamah sendiri di sana. Oh tidak! Tidak sendiri. Mamah ditemani para malaikat yang setia menjaganya.
___
The End
(Kisah ini dipersembahkan untuk mengenang 8 tahun meninggalnya Mamah. Dan persembahan untuk para ibu di manapun.)