Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Jalan Mamah (8/Selesai)

26 Juni 2020   08:03 Diperbarui: 26 Juni 2020   07:58 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Entah mengapa aku tersenyum lega melihat Mamah pergi. Sampai ada yang bilang kenapa aku tidak nangis, malah senyum-senyum? Aku senyum melihat Mamah tak lagi menderita kesakitan, tak lagi menderita menahan kantuk yang amat sangat, tak lagi menderita lelah dan beban pikiran yang bertumpuk tentang dunia. Mamah terbebas dari beban dunia yang fana.

Hari ini Mamah akan bertemu dengan Sang Khaliq pemilik kehidupan. Aku lega dan puas atas semua upaya Papah untuk berjuang menyembuhkan Mamah, walaupun akhirnya Allah berkehendak lain. Setidaknya semua ikhtiar sudah dicoba, semua syariatnya sudah dijalankan, yaitu terus berusaha dan berdoa.

Wajah Mamah teduh dan terlihat cerah. Tidak seperti biasanya. Memang selama sakit, wajahnya aneh. Terkadang terlihat pucat, lesu, tetapi kadang juga terlihat cerah seperti tidak sakit. Air mataku tak keluar sama sekali. Aku kecup kening Mamah sekali lagi.

Tidak seperti biasanya orang meninggal yang tubuhnya cenderung kaku, tubuh Mamah sangat lemas. Tidak sulit untuk menyilangkan kedua tangan di dada. Selamat jalan Mamah, semoga engkau tenang di sana.

Setelah dokter dan perawat memeriksa, dokter memastikan Mamah telah pergi. Aku disuruh Papah untuk mengurus adminstrasi di rumah sakit dan membawa Mamah menggunakan mobil ambulan. Sementara saudara-saudara yang lain pulang duluan bersama Papah dengan menggunakan mobil pinjaman. Aku ditinggal sendirian di RS. Dengan dibantu bapak-bapak dari keluarga pasien kamar sebelah, kugotong Mamah ke ranjang untuk kemudian dibawa ke tempat dimana ambulan menunggu.

Tinggallah aku duduk berdua dengan sopir ambulan.

"Berangkat sekarang Mas? Tidak ada yang ketinggalan?" tanya sopir.

"Berangkat Pak".

Aku memandang jauh ke depan, menembus derasnya hujan seolah memandang Mamah yang sedang berjalan pergi menjauh menerobos lebatnya air yang turun dan melambaikan tangan. Aku pun menghela nafas panjang. Fiuuhhh...

Sesampainya di rumah, hujan masih belum reda. Sempat bingung bagaimana membawa jenazah Mamah dari mobil ke rumah dengan kondisi hujan dan jalan yang sedikit tergenang banjir. Tiba-tiba ku lihat beberapa anak sekolah yang kebetulan belum pulang dan masih bertahan di sekolah segera menghampiri dengan membawa beberapa payung begitu melihat ambulan datang. Tanpa diperintah mereka saling bahu-membahu menggotong Mamah ke dalam rumah dengan sebagian lain memayungi. Aku tidak mengenal mereka.

Sore itu juga jenazah segera disucikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun