Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Jalan Mamah (8/Selesai)

26 Juni 2020   08:03 Diperbarui: 26 Juni 2020   07:58 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Selama beberapa jam Mamah sakaratul maut dan hanya ucapan Allah yang terdengar samar dari mulut. Aku bisikan lagi pelan di telinganya.

"Mah, kalau Mamah mau pergi, silahkan. Kita di sini udah ikhlas kok. Silahkan Mamah pergi dengan tenang, apa lagi yang di beratkan Mamah?"

Aku pegang dari kaki hingga kepala Mamah. Hanya tinggal kepala saja yang masih hangat, selebihnya sudah dingin. Aku teringat ucapan Mamah yang ingin pulang setelah bedug, tapi bedug apa? Bedug Duhur sudah lewat dari tadi. Sekarang sudah jam 2 dan hampir Ashar. Aku pun teringat ucapan Papah.

"Mamah tinggal nunggu hari baiknya, mungkin nunggu hari lahirnya, hari Sabtu" begitu kata Papah.

Wah, kalau hari Sabtu masih lama dong pikirku. Masih harus melewati 1 malam lagi. Kasihan Mamah kalau begitu. Tapi kata Papah kalau sudah sore, menurut hitungan Jawa itu sudah dianggap masuk hari Sabtu. Aku langsung berpikir apa mungkin yang dimaksud adalah bedug Ashar?

Tak henti-hentinya aku membisikan Mamah kalimat-kalimat Allah supaya jangan sampai berhenti berucap, meski dalam hati karena mulut sudah sulit untuk mengucapkan secara jelas. Hanya hembusan nafas saja yang bisa keluar diiringi suara menyebut "Allah" secara samar.

Makin lama nafas Mamah semakin melemah. Azan Ashar pun berkumandang disertai mendung. Aku pun berbisik lagi di telinganya, karena sebagian kepala pun mulai dingin.

"Mah ini sudah bedug Mah, bedug Ashar. Kalau Mamah mau pulang, silahkan. Wibi ikhlas, semua yang ada di sini juga ikhlas. Apa yang Mamah beratkan lagi? Pergi yang tenang ya Mah. Maafin semua salah Wibi dan semuanya, kita semua juga udah maafin salah Mamah. Maaf kalo Wibi banyak dosa ke Mamah, Wibi sayang sama Mamah. Setelah ini, Mamah gak akan merasakan sakit lagi. Mamah bisa istirahat. Mamah gak bisa datang wisuda Wibi juga gak apa-apa, yang penting Mamah tenang di sana. Salam buat para malaikat yang jemput mamah, salam juga buat Gusti Allah." kataku lirih di telinga Mamah.

"Yaa ayatuhannafsul mutma'inah irji'i ila robbiki rodiatan mardiyah, fadkhuli fii ibadi fadkhuli jannati. Laa ilaa ha ilallah ... Muhammadurosulullah" bisikku lagi.

Setelah aku berucap itu, tepat ketika sayup-sayup suara azan berhenti, sekitar pukul 15.14 seperti yang terlihat di ponselku, Mamah menarik nafas dalam dan sangat pelan, kemudian menghembuskan nafas terakhirnya disertai dengan turunnya hujan. Semoga ini pertanda baik, karena Mamah pergi di Hari Jum'at dan hujan adalah pertanda rahmat dari Allah. Cukuplah sakit keras, hari Jum'at dan hujan sebagai pertanda akhir yang baik. Insya Allah khusnul khotimah. Alhamdulillah, Mamah sudah pergi dengan tenang dan selamat.

Semua yang menyaksikan itu menangis, tak terkecuali Papah, yang turut meneteskan air mata. Purnomo yang sejak tadi tidak mau lepas dari Nok pun ikut menangis. Tante Neneng, Nok, Adi, Widia, Tante Nani, Mba Erna semuanya nangis. Uwa Sri yang datang terlambat pun sudah menangis duluan sejak di koridor menuju kamar Mamah. Hanya Budi, anak Mamah yang tidak hadir. Budi belum datang, karena masih dalam perjalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun