Nok Eka bergegas membantu Mamah untuk bangun dan duduk. Ku lihat adikku yang lain, Widia dan si bungsu, Purnomo bergantian memijit kaki, tangan kepala dan mengusap punggung. Ku biarkan adik-adikku belajar berbakti. Biar mereka bisa merenungi bagaimana dulu Mamah mengurusnya waktu bayi. Ku tatap Purnomo yang tengah mijit kaki Mamah. Matanya berkaca namun kosong. Mungkin karena sulit menjelaskan perasaannya, sulit memahami apa yang terjadi. Ku yakin, meskipun masih kecil usianya, tapi di hatinya ada sesuatu yang berkecamuk, ada kekhawatiran, ada harapan, ada kasihan dan sebagainya. Semua tak bisa diungkapkan. Hanya air matanya yang menggenang di kelopak sebagai bahasa tubuh yang nampak.
"Purnomo tadi pagi berangkat sekolah sama siapa?" tanya Mamah.
"Sama Mba Widia," jawab Purnomo singkat.
"Ada PR gak? Sudah dikerjakan belum?"
"Sudah tadi"
"Jangan nangis Pur. Kenapa nangis? Mamah gak apa-apa" ucap Mamah demi melihat wajah anak bungsunya sedih seperti hendak menangis tetapi tertahan. Yang ditanya hanya menunduk.
"Tadi siang makan dengan apa? Mamah belum bisa masak soalnya" kata Mamah lagi.
"Tenang aja. Tadi siang Papah beli lauk di warteg" Wida menjawab.
"Mamah cepet sembuh ya. Kasian tuh Purnomo, Widia masih kecil" tiba-tiba Nok bersuara masih sambil mengelus-elus punggung Mamah.
"Iya ya Purnomo kasian nanti siapa yang ngurus kalau Mamah gak ada."
"Mamah jangan ngomong gitu ah" Widia menimpali.