Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengurai Jejaring Korupsi di Indonesia (1)

24 Juni 2020   18:33 Diperbarui: 25 Juni 2020   19:06 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi-lagi dengan didukung budaya dan karakter orang Indonesia yang dalam istilah Jawa disebut ewuh-pakewuh atau merasa sungkan dan tidak enak hati, pemberian hadiah seperti ini efektif dalam memuluskan praktek kolusi dan nepotisme.

Seorang guru yang biasa mendapat bingkisan dari orang tua murid akan merasa berhutang budi, sehingga merasa punya tanggungjawab moral untuk "membantu" sang murid itu agar mendapat nilai yang baik. Praktik-praktik ini dipertontonkan di hadapan sang anak langsung sebagai muridnya yang kelak bisa diterapkan pada aspek-aspek kehidupan lain si anak saat dewasa.

Berikutnya, mulai hampir dua dekade belakangan, sering kita mendengar atau melihat berita kecurangan saat ujian nasional. Saat diterapkannya aturan standar minimal kelulusan, praktik kecurangan makin merebak secara sistemik dan terstruktur.

Kecurangan bukan lagi dilakukan oleh peserta didik, namun juga dilakukan oleh para guru yang bahu-membahu membantu para siswanya agar lulus dengan cara-cara yang seharusnya tidak patut dilakukan institusi pendidikan. Secara terang-terangan, guru membantu memberikan jawaban kepada siswa. Siswa atau orang tua siswa tak perlu repot untuk menyuap guru agar lulus ujian, karena dengan sukarela, mereka akan membantu.

Mengapa disebut terstruktur dan sistematis? Sebab pihak institusi sekolah secara terkoordinasi membentuk panitia khusus atau tim sukses ujian nasional (UN).

Tujuannya jelas, pihak sekolah tidak mau namanya tercoreng jika sampai ada siswanya yang tidak lulus, terlebih jika itu adalah sekolah negeri dan sekolah unggulan. Bisa memalukan. Angka kelulusan ini pun akan menjadi "barang dagangan" untuk menarik minat murid baru saat tahun ajaran baru.

Belakangan, tidak jarang praktik ini juga mendapat instruksi dari birokrasi di atasnya seperti dinas pendidikan. Seolah mendapat legitimasi, pihak sekolah dengan santai mempertontonkan kecurangan secara vulgar.

Bahkan, pernah ada temuan di lapangan bahwa tim sukses ini juga bekerja di ruang panitia atau ruang pengawas. Lembar jawaban sebelum di-packing dan dikirim ke dinas pendidikan, di-screening terlebih dahulu. Tidak segan tim sukses ini memberikan jawaban atau membetulkan jawaban secara langsung pada lembar jawaban. Dengan pongahnya para siswa, orang tua, dan guru bangga dengan capaian nilai yang diraihnya.

Beberapa guru yang masih sangat idealis tentu tak tahan melihat ini. Beberapa dari mereka lebih memilih mengundurkan diri. Ada juga yang buka mulut dan melaporkan kecurangan ini ke publik. Setelah itu, entah bagaimana nasib guru yang buka mulut itu.

Kasus lainnya yang terjadi dalam institusi pendidikan, kiranya tak perlu lagi dijelaskan panjang lebar misalnya mengenai pungutan liar (pungli) berbalut uang sumbangan atau uang komite yang telah diseting sedemikian rupa. Ditambah juga praktek komersial yang dilakukan guru untuk memaksa siswa membeli buku cetak bahan ajar dengan iming-iming dan "ancaman" tertentu.

Hal ini sejalan dengan laporan penyusunan Kompendum Pidana Suap yang dilakukan oleh Antonius P. S Wibowo, dkk (2006),  menyebutkan bahwa pola korupsi yang sering terjadi di bidang pendidikan berupa pungutan dari siswa, kerjasama dengan penerbit/suplier buku, manipulasi APBS, pungutan mengenai kenaikan pangkat/golongan dan jabatan, pemberian upeti/suap kepada birokrasi di atasnya, rekayasa subsidi/beasiswa, dan manipulasi tender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun