Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Jalan Mamah (5)

24 Juni 2020   11:38 Diperbarui: 24 Juni 2020   11:27 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hari itu kami senang, karena Mamah sudah bisa pulang ke rumah. Setelah masalah administrasi dan pembayaran diurus Papah, kuantar Mamah meninggalkan ruangan yang selama hampir 2 minggu ini ditempati.

"Habis biaya berapa Pah tadi bayar rumah sakit?" ku tanya Papah mengenai biaya RS.

Papah menyodorkan berkas-berkas, diantaranya slip pembayaran. Jumlahnya berjuta-juta karena biaya naik kelas dari kelas 3 ke VIP lumayan besar. Yang tak kalah besar sebenarnya biaya obat dan tindakan karena ASKES membatasi pembiayaan. Jika lebih dari jatah yang ditanggung, sisanya pasien harus membayar sendiri. Terutama obat-obatan maupun perlengkapan medis. Misalnya untuk cairan infus, kalau tidak salah hanya 5 botol saja yang ditanggung. Sisanya bayar sendiri, begitupun dengan perban, kain kasa, kapas dan obat-obatan yang harganya lumayan mahal. Pernah suatu hari waktu tugas jaga malam Mamah, aku diminta perawat untuk menebus beberapa obat yang harus segera disuntikkan karena jatah sudah habis. Ada satu obat yang harganya sampai ratusan ribu.

Tapi masih beruntunglah ditanggung ASKES sebagian. Karena kalau tanpa keringanan itu, ku lirik total biayanya nyaris menembus angka 20 juta. Waah ku pikir bisa buat bayar SPP kuliahku dari awal masuk sampe lulus plus biaya KKN, sidang akhir, yudisium, wisuda ditambah biaya kost 6 tahun serta biaya hidup 1 tahun. Kenapa? Heran ya biaya kuliah dan tetek bengeknya murah? Memang, Aku kuliah di kampus negeri yang terkenal termasuk termurah seEndonesah Raya. Tapi masih suka didemo mahasiswanya karena biaya mahal katanya. Sebuah paradox. Itulah Indonesia negeriku. Semurah apapun juga masih diprotes, apalagi mahal. Pelayanan buruk dihujat, pelayanan bagus juga tak jamin bisa terhindar dari nyinyir. Bertindak salah, apalagi tidak bertindak. Pokoknya mirip kalau perempuan sedang PMS, apapun yang kau lakukan wahai kaum Adam, Anda tetap salah!! Minta maaf salah, tak meminta maaf anda DILAKNAT. Catat itu. Haha...

Biaya hidupnya pun sangat murah meriah. Aku sendiri pun heran saat pertama masuk. Disaat kampus-kampus lain, bahkan masuk SMA di Kota Udang saja perlu duit berjuta-juta untuk biaya registrasi awal, kampusku tidak lebih dari 1 juta. Masih terima kembalian 50 ribu. Lumayan buat beli es krim, beli nasi padang untuk traktir cewe, dan beberapa cemilan untuk dimakan berdua. Biaya murah begitu saja masih langganan nunggak. ?

Untuk biaya kost, Aku masih ingat waktu itu hanya cukup mengeluarkan 300 ribu rupiah untuk 1 tahun. Makan? Bawa duit seribu saja sudah bisa buat beli sarapan nasi kuning + gorengan bakwan. Atau kalau sore bisa beli tempe penyet hanya dengan nambah 200-500 perak lagi. Kalau Aku pribadi, biaya hidup sehari-hari bisa ku irit hanya 3.000 rupiah saja untuk 2x makan. Mentok sehari 4 ribu buat makan. Selebihnya barangkali untuk kebutuhan tugas-tugas kuliah dan jatah rutin membeli buku tiap bulan. Belum lagi kebutuhan kebersihan seperti sabun dan kawan-kawannya. Maklum aku hanya mendapat jatah 150 ribu saja sebulan. Dan itu berlangsung sejak semester 1 sampai semester 10. Berikutnya naik dikit jadi 200 ribu. Itu pun kadang-kadang ngirimnya. Aku tak pernah meminta Papah. Walaupun jatah bulanan habis sebelum waktunya, aku tetap diam. Lebih baik ku kencangkan ikat pinggang dan tak makan. Ku manfaatkan dengan puasa sunah seminggu 3x. Hitung-hitung mengimbangi kebutuhan batiniahku. Biar ada relijius-relijiusnya sedikit. Tak heran badanku gak banyak berubah sejak SMA sampai lulus kuliah.

Dengan biaya hidup yang tergolong super murah itu, makanya tak heran juga anak-anak Ibukota yang kuliah disini bak anak sultan. Standar hidup Ibukota diterapkan di desa, jelas uang saku berlebih lebih. Bisa buat foya-foya. Orang tua mereka banyak yang tidak paham dan dikibulin anaknya, minta duit lagi dan lagi. Pernah ku dengar ucapan orang tua temanku, "Dek, kamu cukup gak itu kiriman bulanan? Kalau kurang bilang lagi aja. Soalnya cuma segitu takut kurang, tapi kalau dikasih sekaligus takut kamu jadi boros", begitu ucapnya khawatir pada anaknya suatu ketika saat berkunjung.
Aku yang mendengar hanya melongo. Karena aku tahu temanku ini uang bulanannya 6x lipat dari jatah bulananku.
___

Ini hari pertama Mamah menghirup udara di luar rumah sakit. Berhubung masih dalam tahap pemulihan, jadi masih belum boleh beraktivitas yang berlebih. Jadilah urusan beres-beres rumah diserahkan pada anak-anaknya, terutama Nok Eka. Karna dia anak perempuan paling besar yang saat ini menginjak kelas 3 SMA. Tapi untuk urusan masak, adikku ini, walaupun perempuan, belum bisa memasak. Bisa sih, masak air, ceplok telor, atau masak mi instan.

Untuk urusan masak, Nok hanya masak yang ringan-ringan. Itu pun harus dipandu Mamah. Untuk belanja, seperti biasa ngutang dulu di bakul sayur langganan. Dibayar awal bulan pas Papah gajian.

Selama masa pemulihan ini, masih tetap harus kontrol rutin dengan dokter. Selain berobat ke dokter, untuk pemulihan ini juga menggunakan pengobatan alternatif. Dokter pun membolehkan.

"Ini bekas operasinya sepertinya sudah kering, lumayan bagus," ucap dokter saat memeriksa bekas operasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun