Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Jalan Mamah (2)

22 Juni 2020   09:51 Diperbarui: 24 Juni 2020   18:47 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pagi hari, ku buka mata. Ku lihat setangkai purnama tertinggal di taman. Ku harap kemarin adalah mimpi. Tapi sial!  Ternyata ini nyata, saat ekor mataku menangkap amplop besar berlogo laboratorium klinik.

__

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Kondisi Mamah terlihat seperti banyak tekanan walaupun secara fisik, penyakitnya yang stadium 3 jarang dirasakannya. Hanya sesekali senut-senut saja katanya. Beban pikiran yang menyelimutinya lah yang membuat Mamah jadi seperti orang sakit. Padahal jauh sebelum itu, mungkin waktu masih tahap stadium 1, stadium 2, Mamah sehat-sehat saja sampai akhirnya mengetahui vonis dokter saat periksa beberapa bulan lalu.

Setelah tragedi periksa dokter itu, kami sekeluarga menyemangatinya. Kami bilang itu bukan penyakit menakutkan. Toh buktinya selama ini sehat wal 'afiat walaupun mengidap kanker yang tak terdeteksi. Ditambah lagi semangat dari ibu-ibu Dharma Wanita di kantor Papah. Kebetulan ada salah seorang personel Dharma Wanita yang juga mengidap penyakit ngehits bagi kaum hawa itu. Ternyata sampai sekarang masih sehat-sehat saja.

Mamah rajin berobat ke dokter secara rutin. Juga tak lupa mendengarkan nasehat-nasehat dan anjuran orang-orang yang punya pengalaman sama. Selain obat-obat dari dokter, Mamah juga mencoba pengobatan-pengobatan tradisional berupa jamu dari daun-daunan dan semacamnya. Namanya juga ikhtiar, setiap kemungkinan, patut dicoba. Tak boleh patah arang, kata Papah yang menyemangati. Sampai tiba saatnya berobat yang ke sekian kali pada dokter spesialis. Kebetulan aku pun sedang pulang ke rumah lagi. Jelas, urusan antar mengantar menjadi urusanku karena adik-adik yang lain sekolah dan Papah kerja.

Semenjak vonis kanker waktu itu, kontrol kesehatan dialihkan pada dokter spesialis, bukan lagi dengan Dokter Hary yang notabene adalah dokter umum. Dokter menyarankan sebuah tindakan operasi untuk mengangkat sel kanker yang ada di buah dada sebelah kiri. Alamaakk! Harus operasi pula. Makin bikin lemas aja mendengar penjelasan dokter spasialis penyakit dalam. Mamah? Tak usah kau tanya, jelas mamah protes dan mengeluh demi mendengar saran dokter ini.

"Kenapa harus operasi dok? Tidak ada alternatif lain? Biayanya kan mahal" gerutu Mamah.

"Ini tindakan yang paling memungkinkan untuk peluang kesembuhan, Bu. Karena kalau tidak segera diangkat, saya khawatir sel kanker akan menjalar ke payudara sebelahnya atau bahkan menjalar ke bagian lain. Satu-satunya cara adalah dengan pengangkatan" jelas sang dokter.

Kami pulang dengan wajah lesu membayangkan operasi. Serem. Belum lagi berpikir biaya. Entahlah. Dalam perjalan pulang dengan angkutan favorit, becak, tiba-tiba Mamah nyletuk, 

"Wib, kamu kapan lulus, terus nikah? Kayanya kamu gak pernah deket sama perempuan. Gak pernah Mamah liat kamu main dengan perempuan"

Weeeyyy, nih Mamah kesambet apaan sih ah. Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba ngomongnya ngelantur kemana-mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun