Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Kebijakan: Sulitnya Menjadi Warga +62

19 Juni 2020   06:17 Diperbarui: 19 Juni 2020   07:07 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"coba kemarin Papah gak begitu ...." "Makanya, kamu kalau dibilangin Mamah tuh nurut!"
"Mamah sama Papah gak adil sama aku."
 
Pada level keluarga ini cenderung bisa ditangani dengan kondusif karena masih terbatas karena hanya ada beberapa kepala saja. Resisten atau penolakan terhadap keputusan yang akan diambil juga cenderung tak berarti. Tetapi bagaimana jika pada level daerah atau bahkan negara? Ada berapa juta jiwa dengan isi kepala dan pendapatnya masing-masing? 

Ada berapa kepala yang ngotot terhadap pemikirannya? Akan ada berapa suara yang menghujat? Belum lagi menghitung suara media sosial yang mungkin satu orang bisa memiliki dua atau tiga akun media sosial aktif. Bisa berlipat-lipat kegaduhan yang ditimbulkan. Bisa berlipat-lipat penyebaran "virus" kebenciannya.

Simulasi Kasus

Mari kita coba simulasikan bagaimana dilematisnya pertentangan pendapat terkait keputusan atau kebijakan publik. Simulasi kasus ini untuk menggambarkan begitu sulitnya menghadapi suara warga +62.

Kasus 1.
Wabah Covid 19 mulai terdeteksi. Pemerintah mengumunkan pasien positif dan tetap menghimbau untuk tenang. Keputusan ini akan dianggap salah oleh sebagian masyarakat karena terlalu santai dan kurang antisipatif walaupun mungkin di belakang itu pemerintah merumuskan strategi-strategi kedepan untuk menghadapinya.

Kita ubah keputusan menjadi, pemerintah mengumumkan pasien positif Covid19 dan langsung mengeluarkan peringatan ancaman wabah. Daerah sekitar yang terdeteksi ada pasien positif dilakukan karantina dan pengecekan masal. Keputusan ini akan dinilai sebagian masyarakat sebagai langkah yang berlebihan dan menimbulkan kepanikan. Ini bisa menimbulkan ketidakstabilan situasi sosial ekonomi. Akan muncul nyinyiran lebay, panikan.

Kasus 2.
Permasalahan banjir di DKI menjadi momok setiap tahun dan setiap periode pemerintahan. Karena hampir dipastikan selalu terjadi banjir yang tidak bisa dihindari, maka pemerintah daerah, dalam hal ini gubernur membuat sistem peringatan dini banjir. Tujuannya, minimal masyarakat segera waspada dan bersiap akan datangnya banjir. Ini diprotes dan mendapat nyinyiran dari sebagian warganya karena hanya dianggap peringatan, bukan mengatasi banjirnya.

Kemudian gubernur melakukan penggusuran rumah di sekitar bantaran sungai. Tujuannya untuk memperlebar sungai sehingga semakin besar volume air yang bisa dilalui. Selain itu juga untuk memudahkan membersihkan endapan, sampah, dan kotoran yang dibuang warga penghuni bantaran sungai. 

Ini akan diprotes keras karena dianggap tidak peka terhadap kesulitan masyarakat. Pemerintah akan dituntut relokasi terhadap korban penggusuran. Padahal kita ketahui bersama, area sekitar sungai tidak boleh didirikan bangunan, atau kita kenal istilah garis sempadan sungai. Artinya itu adalah bangunan ilegal.

Kemudian pemerintah terpaksa membangunkan rumah susun sebagai tempat relokasi. Warga diminta pindah ke rusun dengan membayar angsuran. Kebijakan ini akan dinilai salah oleh sebagian warga karena memberatkan. Oke, digratiskan. Tetap dianggap salah karena rusun tersebut kurang layak huni. Bahkan rusun itu malah dijual oleh sebagian penghuninya untuk dinikmati hasil penjualannya atau lokasi rusun dianggap sangat jauh dari sumber mata pencaharian mereka. Penghuni aslinya kembali mencari bantaran sungai lain untuk membangun gubuknya dengan gratis.

Kasus 3.
Wabah Covid19 semakin merebak dengan persebaran yang kian meluas. Dengan pertimbangan tertentu, pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB dan himbauan pshycal distancing serta WFH. Ini diprotes sebagian warga karena dianggap kebijakan yang telat. Juga dianggap tidak memikirkan nasib pekerja harian atau pekerja yang tidak dapat dikerjakan di rumah. Kalau harus karantina diri, maka akan mendapat penghasilan dari mana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun