Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Silang Sengkarut Data Kependudukan

18 Juni 2020   21:25 Diperbarui: 18 Juni 2020   21:35 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Oleh: Bambang Wibiono
_


Masih hangat dalam ingatan kita semua mengenai karut-marutnya data Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang selalu berulang setiap jelang penyelenggaraan Pemilu. Betapa permasalahan ini seolah menjadi permasalahan abadi yang akan selalu berulang. Dan kasus terakhir yang masih terjadi saat ini adalah mengenai data penerima bantuan bagi masyarakat terdampak pandemi Covid19. Apa yang hendak kita katakan mengenai ini semua selain bobroknya penyelenggaraan administrasi publik pada birokrasi kita?

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di manapun, administrasi publik akan memainkan sejumlah peran penting di antaranya guna mewujudkan salah satu tujuan utama dibentuknya negara, yakni kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dalam konteks Indonesia misalnya, tujuan dari dibentuknya pemerintahan sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 di antaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika berkaca pada permasalahan ketidakjelasan data kependudukan yang juga berimplikasi pada data penduduk yang seharusnya layak mendapat bantuan, lantas bagaimana negara bisa hadir untuk mensejahterakan mereka? Nyaris mustahil, karena bahkan negara saja tak tahu berapa dan siapa yang akan disejahterakannya.

Bobroknya Administrasi Birokrasi

Hadirnya aparatur pemerintah dari pusat hingga ke daerah, salah satu tugasnya adalah mengurusi hal ihwal seperti ini. Negara memberikan tugas dan mandat pada birokrasi di bawahnya untuk melihat langsung, mendata, memetakan, menganalisa permasalahan, melihat kemungkinan, melihat peluang sampai akhirnya digunakan untuk pembuatan dan pelaksanaan strategi kebijakan. Jangankan memetakan dan menganalisa permasalahan, menghitung jumlah penduduknya saja masih belum valid. Buktinya apa? Masih banyaknya data kependudukan ganda, masih banyaknya orang memiliki KTP ganda, masih banyaknya orang yang sudah pindah dan ganti domisili di KTP tetapi masih terdaftar secara sah di daerah sebelumnya, masih ada juga penduduk yang sudah meninggal tapi masih tercatat dalam data kependudukan aktif.
Kita juga sempat mendengar sebuah terobosan administrasi kependudukan yang akan dikelola dengan sistem terintegrasi dan menggunakan teknologi kekinian. Proyek itu bernama KTP elektronik. Gambarannya pada waktu itu, data kependudukan ini akan menjadi satu data yang terintegrasi. Bahkan ada yang bilang, tidak akan terjadi KTP ganda karena rekam data menggunakan pindai sidik jari dan retina. Data ini akan direkam dan tersimpan pada sebuah chip yang tertanam dalam kartu tanda penduduk. Teknologi yang canggih.

Dengan sistem terintegrasi ini, warga tidak akan perlu repot lagi saat pengurusan pembuatan SIM, asuransi kesehatan, paspor, daftar sekolah atau kuliah, surat keterangan catatan kepolisian, pajak, ijin usaha perorangan, apalagi untuk mengurus perpindahan domisili, pembuatan Kartu Keluarga baru atau yang sifatnya mengenai kependudukan. Seperti yang ada di film-film luar negeri itu. Hanya dengan nama dan nomor induk kependudukan, bisa terkoneksi dengan semua data kita. Termasuk data rekening kita ada di mana saja, sekolah di mana, taat bayar pajak tidak, sering melanggar hukum tidak.

Apa yang terjadi dan yang kita rasakan selama e-KTP ini terlaksana? Sudah bisa ditebak. E-KTP hanya sebuah proyek 'bancakan' atau rebutan anggaran bagi oknum di pemerintahan yang nilainya trilyunan yang sampai saat ini kasusnya menguap entah ke mana. Dan tentu saja, bahwa adminstrasi kependudukan tetap berjalan seperti masa-masa jahiliyah sebelumnya. Saat kita mengurus kepindahan domisili saja, tetap melalui prosedur rumit dan melelahkan karena harus bolak-balik tidak karuan, belum lagi urusan lintas instansi dan lintas sektoral. Seolah kantor kelurahan atau kantor kependudukan dan catatan sipil antara kota yang satu dengan yang lain itu berbeda dan terputus sistem. Setelah kita mengurus dan memperbaharui data kependudukan, masih sering terjadi tidak ada pembaharuan pada basis data. Nomor Induk Kependudukan (NIK)  ganda masih terjadi, status kependudukan seseorang tak berubah, data domisili warga tak ada perubahan. Seolah tidak ada pergerakan masyarakat, tidak ada pembaharuan data selama bertahun-tahun. Kalaupun ada, tidak signifikan. Aneh.

Lantas, bagaimana negara mengukur pertumbuhan penduduknya? Bagaimana negara memantau kesejahteraan warganya? Bagaimana sistem administrasi publik berjalan selama ini pada birokrasi pemerintah? Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi birokrasi pelayanan publik di negara kita.

Di jaman digital seperti ini, sudah seharusnya bahwa masalah data adalah persoalan serius dan menjadi prioritas. Kerapihan dan tertatanya data bisa menjadi salah satu ciri baiknya sistem administrasi. Bayangkan saja kalau kita tidak menata rapi file yang disimpan pada komputer. Saat memerlukan suatu file, tentu akan kesulitan mencari, harus melalui prosedur cek sana-sini, buang waktu dan tenaga. Tidak jarang pula, setelah memperbaharui file atau berkas tersebut, kita menyimpan ulang pada tempat yang berbeda agar mudah ditemukan tanpa menghapus berkas yang lama. Terjadilah berkas ganda.

Pemutakhiran Data Tidak Efektif

Kembali pada persoalan data warga penerima bantuan. Setiap ada pembagian bantuan dari pemerintah kepada warganya, selalu muncul banyak protes dan keluhan. Selalu ada saja yang tidak tepat sasaran. Orang yang sudah dianggap mampu dan kaya raya mendapatkan bantuan, sedangkan masih ada warga yang hidup dalam kesulitan sehari-harinya malah tidak pernah tersentuh berbagai macam bentuk bantuan pemerintah. Yang lebih parah lagi, seorang warga yang telah lama meninggal masih tercatat sebagai penerima bantuan. Kisruh data seperti ini sudah berjalan bertahun-tahun. Ini konyol dan memalukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun