Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dunia Kata

10 Oktober 2017   11:43 Diperbarui: 10 Oktober 2017   12:09 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh karena sang ide, kata-kata membawamu kemana pun kau suka


Pada awalnya dia mengetuk pintu. Tentu saja aku berpikir itu suara ketukan tamu. Tetapi ketika kubuka pintu itu, yang kulihat hanya udara kosong. Tak ada siapa pun. Ketika kucari di halaman rumah, yang ada hanyalah terang matahari pagi itu. Hingga aku berbalik masuk ke rumah kembali. Alangkah terkejutku, ia, kata itu sudah duduk di kursi, bersandar dengan santai sekali. Aku merasa seharusnya ia tak berperilaku seperti itu. Ia harus berkata permisi kepadaku. Sayang sekali, aku merasa menyenanginya, aku mencintainya.

Jadi aku biarkan saja ia bersikap seperti itu. Aku senang ia akhirnya datang dan menemuiku. Dan perbincangan itu berlangsung selama sesuka kami. Hingga kemudian, datang ketukan lagi, ketukan lagi dan ketukan lagi. Ketika kubuka yang kutemui hanya udara kosong dan terang hari. Dan ketika kututup pintu kembali, pasti kata yang lain sudah berada di dalam rumahku dan entah duduk di kursi tamu, menempel di dinding, duduk santai di lantai, menggantung di lampu, meringkuk di dalam gelas dan mereka memenuhi ruangan itu.

Kata-kata yang menempel di setiap sudut, di dinding, di plafon, di lantai, di mebel, terbang di udara, bersesakan, berjejalan, itu memenuhi ruang. Tetapi, toh, aku merasakan ruang itu menjadi semakin luas. Kata-kata yang banyak, kutemui, kusapa, kuajak bicara, kubaca dari banyak buku, banyak koran, banyak lagu, banyak petunjuk jalan, banyak lembar kertas, berkumpul di ruang itu. Dan aku bermain dengan mereka, berbicara, mendengarkan, menyimaknya, bersahabat. Hingga ruang itu menjadi begitu ramai, riuh, gempita. Hanya saja kadang kami semua diam; diam saja; tak ada teriak, bahkan tak ada bisik; tak ada gelisah; tak ada bicara yang menenangkan atau menggembirakan, tak ada yang terucap.

Suasana begitu riuh. Bukan oleh suara mereka, tetapi oleh suaraku sendiri yang membaca mereka. Dan mereka begitu suka dibaca. Ketika suasana riuh itu berhenti, maka akan digantikan senyap yang begitu pekat. Tetapi senyap itu tak kalah memikat dengan kedatangan kata-kata itu dan juga perbincangan kami. Ya, aku berbicara dengan senyap itu, dengan bahasa diam, yang telah saling bertemu dan kenal. Hingga ketika aku makin biasa dengan riuh suasana membaca kata, aku mulai bisa memahami kesenyapan yang dibawanya serta. Aku mulai berpikir untuk menikmati keadaan itu. Keadaan tempat aku merasa suka dan menikmati tanpa kebingungan melainkan hanya kegembiraan. Mungkin lebih tepat kebahagiaan. Kebahagiaanku hidup bersama kata yang tunggal, dan tentu juga kata-kata yang begitu majemuk, banyak.

Aku mulai menulis. Aku mengambil setiap kata itu, aku pilih dan aku buat satu cerita. Ketika aku makin menikmati cerita yang aku tulis, lambat laun aku mulai merasa mendengar suara yang tenang, pelan, memanggil-manggil dengan bisikan. Entah dari mana sumber suara itu. Ia belum jelas kudengar. Dan ketika suara itu memanggilku, kata-kata di sekitarku terdiam meciptakan sunyi. Ruangan menjadi begitu sepi, diam, senyap, entah mengapa. Ruang yang begitu luas dengan cat warna putih terang. Suasana yang sepi, begitu sepi, diam, senyap, tak ada suara.

Aku bingung, kenapa mereka mesti diam. Atau mereka merasakan hal yang sama, mendengar suara itu. Makin aku cari dari mana suara itu, makin sulit aku mendengarkannya. Dan keadaan itu benar-benar sulit. Hingga ia datang dan begitu jelas ketika aku diam. Aku hanya diam saja, diam dan diam saja. Yang tak terpikirkan olehku, oleh diam itu aku telah berada di lantai dua. Semua karena ada suara di lantai dua; tak terduga, tak terlihat, siapa, apa, yang bicara, hanya terdengar saja. Suaranya pelan, menenangkan, berwibawa, mempesona, sekaligus mengajak, menantang untuk kudengar, kuketahui dan kutuliskan. Mendengarnya aku bisa, karena suara dari lantai dua itu juga sampai di lantai dasar. Tetapi entah bagaimana aku harus mengetahuinya, bagaimana aku menjangkaunya. Tak ada tangga yang menghubungkan, tak ada tali untukku merambat, tak ada relief-relief yang bisa kupegangi untuk memanjat hingga sampai di lantai dua itu. Aku heran sendiri, "Kapan ruang itu menjadi dua lantai, semalamkah? Oleh siapa?" Yang kumiliki hanya ruang satu kotak, dengan lantai yang kuinjak, langit-langit di atas kepalaku dan dinding-dinding di kiri kanan depan dan belakang. Tetapi kini, mengapa bisa menjadi berlantai dua?

Ruang itu begitu ramai. Ada gemericik air dari sungai kecil yang mengalir seperti yang kudapati di sungai di gunung yang pernah kudaki. Ada suara burung-burung yang bersusulan menyambut pagi di tengah kebun. Begitu luas dan begitu lengkap.

Seseorang mendengarkan suara gemericik air, juga kicau burung di sela-sela desis angin. Ia duduk di sebuah batu yang cukup besar di depan air terjun kecil yang bergemericik itu. Punggungnya membungkuk dibungkus baju putih membelakangiku. Tangan kanannya selalu sibuk dengan gerakan-gerakan kecil yang teratur terlihat di pangkal lengannya. Sedang tangan kirinya diam saja, sedang memegang sesuatu. Pohon yang rindang meneduhinya.

Dan aku mendengar suara yang lain juga setelah aku terdiam mendengar suara burung dan gemericik air itu, yaitu suara orang yang menggumam, seperti merapal dengan suaranya yang berat tetapi bening. Dengan nada yang tetap, ia terus merapal membentuk bunyi-bunyian seperti dengung lebah.

Aku mendekatinya. Dari belakang tubuhnya, aku bergerak diam-diam ke samping menjauhinya. Dari samping aku makin jelas mendapatkan apa yang dilakukan tangan kanannya, yaitu menulis. Pulpen di tangannya itu bergerak dari kiri ke kanan dan kembali lagi, dan kembali lagi. Ia menulis cerita. Sementara tangan kirinya memegang buku yang ditulisinya. Dan ia bersuara membaca tulisannya sendiri. Aku mengamati penulis itu. Dari mana ia datang, di mana ia tinggal, menjadi pertanyaanku. Kulihat ia masih muda, kira-kira seumuran denganku. Tetapi wajahnya belum dapat kulihat. Lalu aku mendekatinya. Kenyataan lain aku dapatkan: bibirnya diam saja, tak bergerak sedikitpun. Dari mana suara orang membaca yang  karena begitu konstan hingga bisa terdengar menjadi suara lebah yang mendengung? Ah, aku makin penasaran. Aku mendekatinya lagi dan semakin dekat jarak antara aku dan dirinya. Dan sekejapan aku melihat, tak ada tulisan di buku yang dipeganginya. Sekejapan aku terkejut dan bertanya. Hingga aku merasa mengeluarkan kata-kataku tak selesai, "Maaf, boleh berbicara dengan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun