Pada jaman dahulu, dimasa hidupnya para sahabat Rasulullah SAW, menjadi seorang pejabat, bagi mereka bukanlah suatu anugrah yang patut disyukuri ttetapi memangku sebuah jabatan bagi mereka dianggap suatu musibah karena kehidupan mereka yang sangat zuhud dan tidak mementingkan dunia. Mereka takut akan pertanggungjawabannya kelak di akhirat nanti. Kalaupun ada beberapa orang sahabat yang memangku jabatan dan menjadi penguasa, hal itu karena terpaksa. Karena jabatan dan kekuasaan adalah kepercayaan atau amanat. Sedangkan seorang muslim tidak diperkenankan meminta amanat. Namun demikian, jika diberi amanat dan ia sendiri sanggup untuk mengembannya, maka hal itu tidak boleh ditolak.
Salman al-Farisi r.a salah seorang dari sekian banyak para sahabat Rasul SAW, pernah menolak untuk diangkat menjadi seorang Amir / Kepala Daerah. Ketika salah seorang sahabat yang lain bertanya kepadanya ; "Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai Amir ?"
Salman menjawab ; "Karena manis waktu memegangnya, tetapi pahit waktu melepaskannya..."
Begitu pula sahabat yang lain, Sa'id bi Amir. Ketika Amirul Mu'minin Umar bin Khattab r.a menawarkan jabatan sebagai wali kota Homs kepada Sa'id bin Umar r.a ia menolak tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada Amirul Mu'minin Umar r.a dengan menyatakan rasa keberatannya, katanya ; "Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah, wahai Amirul Mu'minin....!!
Namun Amirul Mu'minin Umar r.a memaksa Sa'id bin Amir r.a dengan mengatakan ; "Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafat diatas pundakku, lalu tuan-tuan meninggalkan aku...?
Begitulah, baik Salman al-Farisi r.a maupun Sa'id bin Amir r.a pada akhirnya mau menerima jabatan dan kekuasaan itu karena terpaksa. Tetapi, walaupun menjadi pejabat dan penguasa, tidaklah mereka bertindak sewenang-wenang baik kepada rakyat maupun kepada bawahannya. Dan mereka tetap hidup dalam kesederhanaan dan zuhud.
Lalu bagaimana pada masa sekarang ? Sungguh ironis. Pada masa sekarang ini, para pegawai berlomba-lomba mengincar dan memperebutkan jabatan dan kekuasaan dengan cara apapun dan bagaimanapun. jabatan dan kekuasaan merupakan target utama dalam hidupnya. Karena, mungkin dengan jabatan dan kekuasaannya, ia bisa memperkaya diri dan bertindak sewenang-wenang. Dan dengan kekuasaannya itu pula, ia dengan leluasa bisa mengambil kebijakan meskipun kebijakan itu tidak sesuai dengan apa yang terjadi dilapangan. Ia tidak memperdulikan, apakah kebijakan yang dia ambil itu adil untuk orang lain atau apakah itu merupakan tekanan terhadap bawahannya tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan atau setidaknya untuk membela diri.
Ia hanya menerapkan aturan ; ini harus begini dan itu harus begitu, tidak boleh begini dan tidak boleh begitu. Sementara sang pejabat tidak mau tahu dan tidak ingin tahu, problem apa yang dihadapi anak buahnya dan tidak mampu memberi solusi apa yang terbaik untuk diterapkan..
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa jabatan itu merupakan amanah. Bagi seorang muslim, tidak semestinya tidak semestinya rakus tan tamak  terhadap jabatan.  Kalaupun terpaksa, itu tidak mengapa, asalkan ia sanggup mengembannya. Kadangkala, seorang pejabat atau penguasa membuat kebijakan yang cenderung menguntungkan dirinya sendiri dan tidak berpihak kepada orang kecil yang notabene adalah bawahannya sendiri. Ia hanya perlu pujian dan sanjungan serta nilai plus dari atasannya.
Nah, apa yang saya tulis ini bukan berarti saya merasa iri terhadap mereka yang dipercaya mengemban suatu jabatan. Tapi tidak lebih hanyalah keluhan dari seorang kuli rendahan yang merasa diperlakukan semena-mena dan tak mampu berbuat banyak. Keluhan yang biasanya jarang ditanggapi bahkan tak dihiraukan. Maka, dengan cara menulislah, saya berkeluh kesah...
*******
Cianjur, 15 Oktober 2017