Mohon tunggu...
Wendie Razif Soetikno
Wendie Razif Soetikno Mohon Tunggu... profesional -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Wendie Razif Soetikno, S.Si., MDM.\r\n\r\nAlumni AIM (Asian Institute of Management), Philippines (MDM 99). Alumni S-1 Kimia IPB (Nrp G26.1748). Alumni D-3 Kimia IKIP Malang (Nrp 24416). Alumni SMA St. Maria, Jl. Raya Langsep No.40 Malang. Alumni SMP St.Josef, Jl.Brigjen Slamet Riyadi No.58 Malang. Alumni Sd St.Josef, Jl.Semeru No.36 Malang\r\n\r\n \r\n\r\n\r\nBlog1 : http://menatapfajar.blogspot.com\r\nBlog2 : http://putrafajar-putrafajar.blogspot.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Semut pun akan Menggigit Kalau Diinjak

26 Desember 2011   03:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:45 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa gangguan akan Kamtibnas makin meningkat akhir-akhir ini ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita simak BERITA di HEADLINE KOMPAS, Senin tanggal 26 Desember 2011 halaman 1 : KENDARAAN UMUM BELUM AMAN DARI KRIMINALITAS.MAUT MENGANCAM DI DALAM ANGKOT, Warga Merasa Tak Aman Naik Kendaraan Umum, yang melukiskan karut marut masalah lalu lintas di ibukota.

Angkutan massal di ibukota diserahkan kepada BLU TransJakarta (Busway)(http://www.transjakarta.co.id/) sejak dikeluarkannya SK Gubernur No. 110 Tahun 2003 yang dilengkapi dengan Peraturan Gubernur No. 48 Tahun 2006.Seiring dengan dikeluarkannya peraturan itu, Dinas Perhubungan Prov. DKI melalui SK No. 636/2010 tertanggal 31 Desember 2010 mencabut ijin trayek bis-bis yang rutenya bersinggungan dengan rute pelayanan bis Transjakarta. Ratusan ijin trayek bis PPD dan Mayasari Bakti dicabut.Sementara itu status BLU Transjakarta yang gagal ditingkatkan statusnya menjadi BLU penuh, akan diubah menjadi BUMD akhir tahun ini, sedangkan pelayanan BLU Transjakarta tidak kunjung membaik. (Kompas, Senin 26 Desember 2011 halaman 27 : Catatan Akhir Tahun : BUSWAY HANYA DILIHAT SEBAGAI MASALAH)

Ditinjau dari segi bisnis, SK Dishub Prov. DKI itu dan perubahan status BUMD Transjakarta ini sebenarnya melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli).Disamping itu, Dishub secara langsung telah mengubah tatanan sosial masyarakat yang menggantungkan hidupnya di halte-halte bis dan terminal-terminal bis.

Apa yang salah?Bis reguler PPD dan Mayasari Bakti menopang hajat hidup orang banyak dan kehidupan ribuan orang, mulai dari sopir, kondektur, kenek dan petugas timer sampai kepada pedagang di halte-halte bis dan terminal-terminal bis. Kegiatan home industry yang memasok pedagang di halte-halte bis dan terminal-terminal bis juga terganggu.Belum lagi preman-preman di terminal-terminal bis yang kehilangan setorannya, dan tukang ojek serta sopir bajaj yang biasa ngetem di terminal-terminal bis yang juga kehilangan calon penumpangnya, dan juga pedagang asongan serta tukang ngamen yang kehilangan tempat usahanya karena tidak ada lagi bis PPD dan Mayasari Bakti yang lalu lalang.Ribuan orang kehilangan nafkahnya dengan dihapuskannya rute bis PPD dan Mayasari Bakti ini.Akibatnya halte-halte bis dan terminal-terminal bis kehilangan fungsi sosialnya.Sementara itu, ribuan orang tidak punya pilihan berkendaraan yang lain, selain berdesak-desakan dalam antrean di halte busway yang jam operasionalnya dan jumlah bisnya terbatas. Keputusan Dishub yang tidak berpihak kepada rakyat kecil ini dengan serta merta akan memicu frustasi masyarakat karena nafas hidupnya terganggu secara langsung dan hal ini akan menjadi pemicu peningkatan gangguan kamtibnas di jalan raya.Sepeda motor serempetan di jalan saja sudah langsung menyulut emosi warga.Preman-preman yang kehilangan setoran di terminal-terminal bis akan berpotensi meningkatkan kasus curanmor,dll

Maka fungsi Polri sebagai pengayom masyarakat adalah mengingatkan Dishub Prov DKI agar menghapus praktek monopoli dalam angkutan massal di ibukota.Polri tidak bisa menghadapi masalah gangguan kamtibnas di jalan raya tanpa melihat akar permasalahannya.

Berbekal pemahaman kita akan akar masalah peningkatan kriminalitas di jalan raya itu, maka kita bisa mengerti mengapa tawuran antar warga makin meningkat frekuensinya akhir-akhir ini. Tawuran antar warga makin sering terjadi karena masyarakat kecil kehilangan hak hidupnya, yaitu terputusnya rantai mata pencahariannya.Apa sebabnya?

Sejak dikeluarkannya PP No. 112 Tahun 2007 mengenai Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, yang justru mengijinkan peritel besar beroperasi melalui minimarket (toserba mini) sesuai ketentuan Pasal 5 ayat 4 PP No. 112 Tahun 2007 ini.Akibatnya, berbagai minimarketmerambah sampai ke kampung-kampung, sehingga pedagang kelontong, pembuat home industry dll kehilangan rantai pasarnya, karena pasar tradisional dan toko tradisional kehilangan pamornya. Mereka mati mengenaskan terpukul para pemodal besar pemilik Alfamart, Indomaret, Circle K, Apotek 24, dll.Masyarakat frustasi karena usaha kaki limapun dikejar-kejar Tramtib (Satpol PP), nafkah kehidupan mereka terganggu, sehingga mudah terpicu untuk amuk massa karena hal-hal sepele.

Maka fungsi Polri sebagai pelindung masyarakat adalah mengingatkan Pemda DKI agar membatasi ijin pendirian minimarket itu agar tidak mematikan usaha wiraswasta rakyat dan menata pedagang kaki lima sebagai katup sosial dari terbatasnya modal dan sempitnya lapangan kerja.Polri tidak bisa menghadapi masalah gangguan kamtibnas di pemukiman (berupa tawuran antar warga) tanpa memecahkan akar masalahnya.

Dengan pendekatan yang sama, Polri dapat melihat tawuran antar pelajar secara lebih jernih. Tawuran dan kekerasan (bullying) antar pelajar makin meningkat (Kompas, Jumat 23 Desember 2011 halaman 40 : Laporan Akhir Tahun : TAWURAN : TRADISI BURUK TAK BERKESUDAHAN), karena sekolah-sekolah negeri yang didedikasikan untuk pelayanan pendidikan masyarakat kecil ternyata terkena imbas globalisasi pendidikan.Pendidikan makin mahal. Biaya pendidikan di sekolah negeri yang makin mahal ini legal karena bersandar pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 12 ayat 2 butir b : Setiap peserta didik ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku .... nah, yang dibebaskan dari tanggungan itu menurut perundang-undangan adalah FAKIR MISKIN dan ORANG TERLANTAR, yang sekarang dikenal sebagai GAKIN (Keluarga Miskin).Dengan demikian, pegawai dengan penghasilan pas-pasan terpaksa harus ikut serta menanggung biaya pendidikan yang mahal ini. Pengkotak-kotakan sekolah negeri menjadi sekolah reguler, SSN (sekolah standar nasional), RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional) dan SBI (sekolah bertaraf internasional) telah memunculkan “kasta baru” dalam masyarakat.Para orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah reguler yang gratis akan merasa menjadi “kasta paria” menghadapi para orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah yang bertarif internasional (yang sangat mahal) itu – apalagi anak-anak mereka yang mengalami secara langsung “diskriminasi” ini. Penjenjangan sekolah yang "diskriminatif" ini dilegalkan melalui peraturan Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang mengijinkan SBI mengajukan 100% muridnya dalam penjaringan di SNMPTN, sementara sekolah reguler hanya boleh mengajukan 40% muridnya dalam penjaringan di SNMPTN.

Maka fungsi Polri sebagai pelayan masyarakat adalah mengingatkan birokrat-birokrat di Dinas Pendidikan bahwa tindakan melanggengkan jenjang-jenjang persekolahan itu menjadi sekolah reguler yang gratis dan sekolah bertarif internasional yang sangat mahal itu telah memicu SEGREGASI MASYARAKAT, yang mengakibatkan para pelajar yang “kurang berpunya” menjadi sangat frustasi akan masa depannya. Polri tidak bisa menghadapi masalahtawuran pelajar ini sendirian tanpa melihat akar permasalahannya.

Apa yang mesti dilakukan?

Menangkap perusuh tanpa mengorbankan hajat hidup orang banyak.Ada contohnya?Ada.Perusuh dan pembuat onar pada pertunjukan musik langsung ditangkap, tapi Polri tidak membubarkan pentas musiknya, karena pentas musik itu menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti : pedagang kaki lima dan pedagang asongan di arena pentas musik, home industry yang mendukung operasional pedagang kaki lima dan pedagang asongan itu, tukang ojek yang mengantar jemput para penikmat musik dan angkutan umum yang tetap laku beroperasi sampai malam, dll.Belum lagi persewaan tenda, sound system, fotografer dadakan (untuk foto bareng artis), dll

Contoh lain adalah Polri membiarkan demo berlangsung dengan tertib dan tidak terprovokasi untuk membubarkan demonstran, karena pendemo ini juga menyangkut hajat hidup banyak orang, seperti : pedagang kaki lima dan pedagang asongan, home industry yang mendukung operasional pedagang kaki lima dan pedagang asongan itu, para wartawan dan jurnalis foto, percetakan yang mencetak selebaran, tukang sablon yang mencetak kaos demonstran, demonstran yang menyewa bis dan sound system, dll.

Kalau Polri keliru bertindak : justru mengganggu hajat hidup orang banyak, maka Polri telah melenceng dari fungsinya sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.Polri justru akan menjadi “musuh baru” masyarakat. Simak temuan Komnas HAM ini :

Tindak penyiksaan dan extra judicial killing termasuk tindakan yang melanggar hak asasi manusia atau HAM. Berdasarkan catatan Komnas Hak Asasi Manusia, masih banyak ditemukan pelanggaran HAM berupa penyiksaan, terutama yang dilakukan pihak kepolisian."Yang paling banyak melakukan kekerasan adalah polisi.

Sangat tingginya penyiksaan dalam proses penyidikan menunjukkan tingkat kepatuhan polisi terhadap KUHAP tidak begitu tampak operasional," ujar Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim dalam jumpa pers "Catatan Komnas HAM terhadap Situasi HAM Tahun 2010" di Hotel Sahid, Jakarta, Jumat (10/12/2010).

Dipaparkan Ifdhal, sepanjang tahun 2010 sedikitnya terdapat 30 kasus penyiksaan dalam penyidikan yang dilakukan kepolisian. Sementara kasus penganiayaan yang dilakukan oknum polisi baik saat menjalankan tugas maupun di luar dinas sejumlah 32 kasus dan 16 kasus berupa tindak kekerasan. Bahkan, kata Ifdhal, di sejumlah tempat, beberapa oknum polisi langsung melakukan tembak di tempat terhadap terduga

Temuan Komnas HAM di tahun 2011 malah lebih jelek lagi.  Polri ditengarahi telah menjadi centeng dari para pemilik modal.  Kasus Mesuji di Pov.Sumsel dan kasus Mesuji di Prov. Lampung serta kasus Pelabuhan Sape di Prov. NTB telah membuat Polri "dianggap berpihak" kepada para pengusaha dan mengabaikan aspirasi rakyat yang terampas hak hidupnya.

Kesimpulan :

Polri jangan bertindak sendiri, masalah kamtibnas itu kompleks – Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat sebaiknya menjadi “jembatan” antara para pihak yang berkonflik.Dengan kata lain, Polri bukan “pemadam kebakaran” bagi kesalahan yang dibuat pihak lain, yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak hidupnya. Keributan di Mesuji, dan Sape tak akan terjadi bila Polri tidak terjebak hanya menjadi "pemadam kebakaran" bagi pihak-pihak yang berkonflik, tanpa melihat akar permasalahannya.

Semutpun akan menggigit kalau diinjak.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun