Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Yang Menyangkal Itu Fatal dan Terpental

19 September 2021   12:30 Diperbarui: 19 September 2021   12:31 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

REFLEKSI ALKITAB, MINGGU 19 SEPTEMBER 2021 :  "YANG MENYANGKAL ITU FATAL DAN TERPENTAL"

Oleh Weinata Sairin

"Setiap orang yang me ngakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan BapaKu yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia Aku juga akan menyangkalnya di depan BapaKu yang di sorga". (Matius 10 : 32, 33)  

Sikap setia dan taat asas (konsisten) sangat diperlukan dalam kehidupan kita. Sikap itu mesti kita wujudkan dalam kehidupan keluarga, dan dalam kehidupan di lingkup yang lebih luas. Setia, konsisten artinya "tetap", " tidak berubah" , tidak mengikuti arah angin, tidak menyanyi mengikuti gendang orang lain. Setia, konsisten artinya stabil, tidak plin-plan, tidak mencla-mencle, tidak mudah berubah dan terpengaruh. Setia, konsisten juga berarti terang-terangan, tidak menyembunyikan diri, tidak bersikap abu-abu, tetapi tidak juga mesti demonstratif dan secara arogan mempertontonkan kesiapaan kita. Kita sebagai warga Gereja dituntut untuk setia tidak hanya pada "hal-hal yang besar" tetapi juga terhadap hal-hal yang kecil (Luk.19:17)

Dari pengalaman empirik kita mencatat bahwa ada banyak orang selalu terpukau pada sesuatu yang "besar" dan acap tidak peduli bahkan menutup mata terhadap yang "kecil". Di Jemaat-jemaat kita juga acap terjadi semacam keluhan terhadap sikap pimpinan Jemaat yang acap lebih care pada 'orang besar' ketimbang 'orang kecil'. Yesus sendiri meneladankan sikap yang amat peduli terhadap mereka yang dimarginalisasi oleh masyarakat di zaman itu. Yesus berdialog, menangkap aspirasi mereka, Yesus duduk bahkan makan bersama dengan mereka. Narasi dalam Injil mengungkapkan semua kisah itu dengan terang benderang yang mestinya menjadi referensi utama dari gerak pelayanan Gereja.

Setia dalam melayani dan setia dalam mengaku nama Yesus memang bukan hal yang mudah dan sederhana. Oleh karena itu pembiasaan dalam melayani dan mengaku harus dimulai sejak dini. Gereja-gereja sudah sejak awal menyadari tentang pentingnya kedua aspek. Per istilah, kata 'pelayanan', diakonia sudah menyatu dengan kedirian Gereja. Eksistensi dan presensia Gereja sebagai institusi yang melayani amat disadari dan difahami (Mrk 10:45). Dalam konteks kesadaran itu juga jika nama komisi yang ada dalam Gereja sebagian besar mengakomodasi istilah 'pelayanan', misalnya Komisi Pelayanan Perempuan, Komisi Pelayanan Lansia, dsb.

Bahwa kemudian ada orang yang beranggapan atau berpandangan bahwa hal yang berbau pelayanan itu seolah meniadakan profesionalisme, pandangan itu mesti dikoreksi. Berorganisasi, berpaduan suara, berkoperasi, mengelola keuangan, dsb dalam konteks pelayanan Gereja mesti dilakukan sesuai dengan standar profesional, tidak bisa dengan cara-cara kuno dan "amatiran".

Setiap ibadah hari Minggu, umat mengucapkan rumusan teks Pengakuan Iman Rasuli (Symbolum Apostolicum). Rumusan itu yang biasa juga disebut 12 fasal Pengakuan Iman adalah sebuah kredo yang banyak digunakan oleh Gereja-gereja di Indonesia. Rumusan yang ada, dalam bentuknya yang sekarang dibuat srkitar th750 diucapkan setiap hari Minggu untuk mengingatkan umat tentang inti kepercayaan kristiani yang berbasis kuat pada pemahaman Trinitas. Pengakuan Iman yang diucapkan dengan lantang, dan terkadang drngan sikap sempurna, mestinya dilanjutkan dalam kehidupan umat pada hari Senin -Sabtu ditengah dunia sekuler. Pelanjutan Pengakuan Iman dalam kehidupan konkret umat adalah bagaimana agar dimensi pengakuan itu diimplementasikan dalam tugas, pekerjaan, dan kehidupan umat dimanapun.

Dalam konteks implementasi itu, umat tidak boleh berada dalam posisi menyembunyikan kekristenannya, atau bersikap ragu terhadap agama yang ia anut agar ia bisa menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam sebuah lembaga. Umat harus terus terang, dan terang-terangan tentang agama yang ia anut sehingga publik masyarakat disekitarnya jelas.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa di beberapa institusi di negeri ini ada aturan-aturan tidak tertulis dan atau terselubung yang menyatakan bahwa yang bisa menjadi pimpinan di institusi itu adalah sosok beragama tertentu. Di sebuah universitas negeri misalnya ada ketentuan bahwa syarat menjadi rektor adalah yang bisa membaca ayat-ayat kitab suci agama tertentu. Ada juga satu dua orang warga kita yang tegiur dengan sesuatu jabatan sehingga ia dengan mudah meninggalkan Yesus Kristus dan berpindah ke agama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun