menghidupi hari-hari sepi
 lebih setahun penuh
bukanlah mudah
hidup terasa takindah, lelah, jenuh
tubuh berpeluh
ditindih keluh
segumpal tanya
acap mengoyak dada
ada galau membelah rindu
ada derita menusuk tanpa kata
sepanjang tahun covid 19 tiada henti
merobek-robek negeri
jutaan warga terpapar
ribuan dijemput maut
pengangguran, kriminalitas, kemiskinan, penipuan makin
meningkat
makam-makam
penuh sesak
ruang-ruang di rumah sakit penuh sesak
para nakes, tokoh agama, pejabat publik dan banyak orang tanpa memandang sara
direnggut maut
cemas, waswas, ansietas, paranoid, ketakutan, depresi
dan banyak penyakit terkini mendera warga bangsa
kondisi monoton, pandangan teologi
membuat banyak warga tidak disiplin dalam menaati prokes dan merawat imunitas
sebulan ini jumlah yang terpapar meningkat tajam
konon inilah gelombang kedua
persebaran covid 19 yang lebih dahsyat membunuh manusia
menghidupi hari-hari sepi berlumur cemas waswas
banyak warga terpana di depan televisi
menangguk hiburan murahan dan sepak terjang umat manusia dalam
drama bertema homo homini lupus
televisi acap berwajah ganda
memberitakan amat cepat penyegelan rumah ibadah karena teologinya berbeda dengan teologi mainstream
lalu resonansi penyegelan itu cepat menular ke wilayah dan aliran keagamaan yang lain
episode sinetron televisi banyak dipenuhi dendam kesumat, poligami, kawin cerai, perselingkuhan, kawin percobaan, ulah pelakor, rumah tangga hancur berantakan, nuansa sara
yang berpengaruh buruk bagi warga bangsa
para petinggi negeri mesti bekerja lebih keras
menata negeri
mengelola kemajemukan sara
memanajen televisi yang bervisi
agar terwujud penguatan keluarga
penguatan masyarakat, bangsa dan negara
menuju negeri yang berdaulat, bermartabat, berkeadaban.
Jakarta,22 Juni 2021/pk.17.50
Weinata Sairin