Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refleksi Minggu | Tuhan Tidak Membuang Umatnya

13 Juni 2021   05:00 Diperbarui: 13 Juni 2021   05:09 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pinterest.es/pin/611574824386518808/

"Sebab Tuhan tidak akan membuang umat-Nya, dan milik-Nya sendiri tidak akan ditinggalkan-Nya; sebab hukum akan kembali kepada keadilan, dan akan diikuti oleh semua orang yang tulus hati."(Mazmur 94:14--15) 

Perasaan "dibuang" kadangkala menghinggapi orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. Orang yang dipindahkan pekerjaannya dari kota besar ke pedalaman sering kali merasa dibuang dan diasingkan. Jabatannya tidak naik, fasilitasnya minim, dan lingkungannya jauh dari tempat-tempat yang memberikan entertain. Orang yang ditinggalkan oleh kawan-kawan karena jatuh miskin dan tidak bisa lagi menjadi 'sponsor' untuk berfoya-foya merasa dibuang. Orang yang mesti hidup dalam penjara bukan karena soal pidana dan proses peradilannya dirasakan tidak sesuai dengan prosedur baku, merasa seperti dibuang.

Harus juga dicatat bahwa orang yang dibuang secara riil dan konkret juga ada dan terjadi. Umat Israel pernah dibuang ke Babilonia, Napoleon dibuang ke Pulau Elba, Bung Karno dibuang ke Boven Digoel, dan banyak lagi tokoh-tokoh penting lainnya yang pernah dibuang.

Mereka dipisahkan dari negeri yang mereka cintai, dari konstituen mereka, agar menderita dan tidak lagi meneruskan perjuangan. Namun, kenyataan
membuktikan bahwa para pejuang yang dibuang dan/atau dijebloskan ke dalam penjara tidak pernah menyerah kalah. Mereka justru makin kuat dan
tangguh mengalami pembekalan baru di penjara atau di pembuangan.

Para pejuang adalah petarung tangguh yang tidak pernah menyerah pada keterpenjaraan, keterbuangan, atau bentuk derita apa pun yang mendera. Realitas derita yang mereka alami makin memantapkan tekad mereka untuk terus berjuang mewujudkan cita-cita. Keterpenjaraan fisik tidak pernah berhasil memenjarakan gagasan dan idealisme mereka. 

Ungkapan Pemazmur, sebagaimana dikutip di atas, memberikan energi dan penguatan signifikan bagi umat Allah dari zaman ke zaman. Sebagai
umat pilihan Allah, kita bersyukur bahwa kita memiliki privilege. Privilege itu bukan saja bahwa umat pilihan-Nya dijanjikan keselamatan kekal di keakanan, melainkan juga bahwa Tuhan tidak akan membuang umat-Nya.

Secara tegas, Pemazmur menyatakan bahwa "milik-Nya sendiri tidak akan ditinggalkan-Nya". Ini suatu privilege yang amat dahsyat dan luar biasa bagi kita, komunitas orang beriman. Dengan demikian, tidak ada pembuangan Babel jilid 2, tidak ada repetitio dari peristiwa pembuangan.

Umat pilihan-Nya tidak akan dibiarkan mengukir sejarahnya sendiri, bergelut sendiri menghadapi berbagai turbulensi (melawan sikap diskriminasi, ujaran kebencian, penghujatan) dan berbagai ancaman yang mengadang, termasuk melawan politik penindasan minoritas, serta berbagai kekuatan pengubah Pancasila. Allah menjadi benteng pertahanan dan tempat perlindungan umat pilihan! Hal yang menarik dari Pemazmur adalah
pernyataan "hukum akan kembali kepada keadilan...". Artinya, hukum tidak lagi diintervensi oleh kekuasaan, kepentingan politik, dan golongan.

Hukum akan melayani Keadilan! Tatkala Tim LAI tanggal 9 Juni 2017 berkesempatan melawat BTP di Rutan Mako Brimob, ia tetap ceria, optimistis, dan menampilkan narasi-narasi cerdas. Tidak terlihat dari raut mukanya bahwa ia seolah menjadi 'orang buangan'. Ia tetap menjadi anak Tuhan yang setia menggeluti Firman, menulis rhema setiap malam, dan berpikir ke depan secara positif. Ia, bahkan, lewat ruang terbatas 2 x 3 meter, telah makin belajar bagaimana mengampuni orang. Dari percakapan selama 30 menit itu tergambar kematangan kualitas spiritualnya, bagaimana ia tetap merasakan pendampingan Allah dalam situasi khas yang tengah ia jalani.

Kita saat ini sedang menghadapi sebuah dunia yang selalu bergerak, selalu berubah. Dunia yang tidak lagi lembut, putih dan ramah, tetapi dunia yang bersimbah darah. Perampok dan teroris atau kelompok berlabel agama teramat mudah mengambil nyawa, bahkan menggorok leher sang korban dengan bangga. Peradaban manusia nyaris kembali ke zaman barbar, tatkala hukum dan peraturan hanya wacana. Gereja hidup dalam dunia yang sedang berubah dengan amat cepat. Gereja tidak bisa apatis dan membisu atau ambigu. Gereja tidak bisa berlindung di balik tembok kukuh dan lambang salib serta ayam. Gereja tidak bisa menyembunyikan diri di balik terminologi "kasih" dan terminologi apa pun. Gereja tidak bisa hanya berkhotbah, tanpa harus menjadi LSM atau Orpol. Gereja harus lantang menyuarakan ketidakadilan, melawan politik diskriminasi. Gereja harus bertindak dengan cara elegan agar dunia dipenuhi shalom. Gereja juga harus merawat mereka yang luka dan berduka, mendampingi mereka yang panik, cemas, dan traumatik. Bersama Allah yang imanen, 'Allah yang hadir dalam hidup manusia', Gereja harus berjuang terus sampai Maranatha.
Tuhan tidak akan dan tidak pernah membuang umatNya. Malahan manusia yang acap "membuang" Tuhan dari ruang-ruang sejarah manusia; manusia mengesampingkan dan tidak melibatkan Tuhan dalam pergulatan hidup manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun