Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hidup Itu Mewujudnyatakan Kesalingan

5 Juni 2021   14:00 Diperbarui: 5 Juni 2021   14:11 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Servire, carum habere, veniam. Saling melayani, saling menyayangi, saling mengampuni".

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah hidup dalam waktu, frame of time. Manusia hidup dalam kungkungan kefanaan dan ruang kesementaraan.  Menapaki jalan dari civitas terenna (the city of world.) menuju ke civitas dei (the city of God). Manusia diibaratkan masih berada  di tengah jalan,  bak seorang musafir, belum tiba di terminal penghabisan. Ia hidup dalam sebuah iklim, ketegangan kreatif, yakni ketegangan  untuk menelusuri "jalan  kekinian"  dan menanti hadirnya ".ruang abadi". Dalam kondisi seperti ini apa yang mesti dilakukan manusia? Dalam konteks seperti ini setiap agama telah memberikan tuntunan yang amat jelas bagi umat manusia.

Melalui narasi spesifik, sesuai dengan hakikat dan  panggilan masing-masing agama, manusia diperintahkan untuk bekerja mengelola alam secara  bertanggung jawab, hidup saling mengasihi antar sesama manusia, dan hidup menjalankan perintah Allah. Itulah tugas dan panggilan manusia yang secara mendasar wajib dilaksanakan sepanjang hidupnya.

Sebagai makhluk ciptaan Allah,  manusia adalah sosok yang lemah dan tidak sempurna. Oleh sebab itu, acap kali manusia tidak menjalankan tugas panggilan itu dengan setia dan tekun.  Bahkan, tindakan manusia yang dipengaruhi banyak faktor sering kali bertentangan secara diametral dengan hakikat panggilannya sebagai manusia.

Manusia hidup saling bermusuhan,  menyimpan dendam dan benci sehingga bermuara pada konflik dan kekerasan berkepanjangan, perang, pembunuhan, hingga  genosida yang menciderai dan merusak  peradaban umat manusia. Manusia mempraktikkan homo homini lupus, bukan homo homini socius.  Inilah tragedi kemanusiaan yang selalu terjadi dalam sejarah dengan berbagai variannya.

Pepatah ini menyadarkan kita pentingnya mengedepankan kata saling dalam  menjalani kehidupan. Saling adalah simbol adanya dualitas dan pengakuan bahwa kita dari diri sendiri, tak punya kemampuan.

Kehidupan yang berbasis kesalingan wajib hukumnya kita implementasikan dalam Keluarga, Komunitas, Institusi, Lrmbaga Pemerintah/Swasta, dimanapun di ruang-ruang publik   dalam wilayah NKRI bahkan dimanapun tatkala   terjadi interaksi antar manusia.

Kesalingan yang positif hendaknya menjadi bagian integral dari hidup umat manusia di era digital.

Selamat Berjuang. God bless!

Weinata Sairin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun