Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghidupi Hidup yang Menghidupkan

4 Juni 2021   12:30 Diperbarui: 4 Juni 2021   12:38 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"I slept and dreamt that life was joy. I awoke and saw that life was service. I acted and behold service was joy." (R. Tagore)

Hidup di tengah dunia yang gaduh gemuruh bukanlah sekadar hidup. Hidup bukan hanya kita ada, eksis, tampil, dan dilihat orang lain. Keberadaan kita bukan keberadaan yang nir makna, yang tanpa potensi, yang nihil, dan zero. Kita sebagai manusia yang diciptakan Allah secara istimewa, kita berada dan mengada di pusaran zaman untuk menorehkan sejarah, mengukir karya terbaik bagi banyak orang.

Mengapa hidup mesti dihidupi dengan hal-hal yang menghidupkan dan bukan sekadar ada dan mengada? Ya, hidup itu adalah anugerah Allah. Hidup adalah sebuah privilese yang Allah berikan kepada sang manusia fana, makhluk ciptaan-Nya yang paling mulia. Itu berarti, hidup mesti bermakna signifikan, berbuah yang buahnya itu bisa dinikmati banyak orang.

Banyak orang yang telah hidup menorehkan sejarah dan membangun peradaban dunia. Namanya dikenal bukan hanya pada lingkup negaranya tetapi juga pada level dunia. Para penulis, para penemu, seniman, politisi, negarawan, ahli stategi, mereka yang concern pada bidang pendidikan, HAM, ahli di bidang iptek, mereka yang ahli di bidang militer, mereka yang concern pada perjuangan rakyat jelata, pahlawan, komposer, koreografer, pejuang kemerdekaan, ya, ribuan orang bahkan mungkin jutaan orang di seluruh jagat dunia dengan berbagai talenta dan kompetensi telah mendedikasikan hidupnya bagi pemajuan peradaban dunia. 

Mereka semua melakukan itu dengan dimotivasi oleh agamanya, ilmu yang dimilikinya, pesan orangtua, bisa juga atas dorongan klannya, ideologinya, dan berbagai faktor atau unsur lain yang memberi dorongan/motivasi untuk berkarya dalam  konteks sejarah masing-masing.

Menarik membaca pernyataan R. Tagore sebagaimana dikutip di bagian awal tulisan ini. Ia tidur dan bermimpi bahwa hidup adalah sukacita. Tatkala
ia bangun, ia melihat bahwa hidup itu adalah "pelayanan". Kemudian, ketika ia bertindak, ia menyaksikan bahwa pelayanan itu adalah sukacita.
Bagi Rabindranath Tagore, sebuah kehidupan bukan sesuatu yang monoton, yang membuat kita dililit sepi lalu kita merasa "bete" atau "boring"---meminjam kosakata anak gaul---tetapi kehidupan itu adalah sebuah dinamika, sebuah proses yang "sedang menuju" dan "sedang menjadi". Bukan sesuatu yang sudah selesai, yang sudah arrive. Bagi Tagore, ada rangkaian yang tiada putus antara tidur, bermimpi, bangun, dan melakukan sesuatu. Itu adalah rangkaian yang integralistik yang di dalamnya beberapa kata kunci bermain peran, yaitu sukacita dan pelayanan, joy and service. "Sukacita" dan "Pelayanan" adalah dua kata kunci yang diperoleh Tagore melalui mimpi dan action-nya sesudah terbangun dari tidur.

Sebagai umat beragama kita terus-menerus diingatkan bahwa kita harus selalu bersyukur kepada Tuhan atas hidup yang Ia anugerahkan kepada kita. Kita bersyukur dan bersukacita atas anugerah itu. Sebagai respons kita atas anugerah Tuhan itu maka kita juga diingatkan untuk hidup dengan melayani dan mengasihi sesama kita. Joy dan Service yang dikatakan Tagore dalam pepatahnya itu telah kita wujudkan dalam hidup kita melalui bentuk dan cara yang kontekstual. 

Pengingatan yang diberikan Tagore menjadi catatan penting bagi kita agar hidup kita menjadi hidup yang berkualitas, hidup yang menghidupkan: menghidupkan mereka yang tiada berpengharapan, mereka yang tergerus dunia modern, mereka yang didiskriminasi karena SARA, mereka yang dihujat dan dihina karena berbeda, mereka yang harkat dan martabatnya terpasung karena perbedaan politik, dan mereka yang tak mampu lagi bersuara karena stigmatisasi.

Di era pandemi seperti sekarang ini hidup itu amat sangat mahal harganya. Kita harus taat protokol kesehatan, kita takboleh berkerumun apalagi sambil menenggak morphin, kita beribadah tidak bisa full tatap muka, ibadah gereja misalnya juga harus lebih smart: liturgi nya, nyanyiannya cukup 2 bait, kotbahnya cukup 15 menit dengan bahasa, alur dan logika yang standar. Ya semua  nya berubah karena sang maut yang diusung virus itu mengintai manusia setiap saat, dengan target manusia terbunuh( bahkan dengan senyap).

Kita semua sekarang ini lebih diarahkan untuk nemuliakan kehidupan, merawat kehidupan, menghidupkan hidup agar menikmati kehidupan.
Dalam dunia yang berkeadaban, apalagi yang berPancasila, kehidupan itu diberi ruang sejalan dengan ajaran agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun