Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orang Bijak Itu Orang yang Bijaksana

2 Juni 2021   09:00 Diperbarui: 2 Juni 2021   11:24 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"He is a wise man who does not grieve for the things which he has not but rejoices for those which he has." (Epictetus)

Dalam dunia yang semakin gaduh dan tidak lagi nyaman, banyak orang merindukan kata-kata sejuk dan sikap yang lemah lembut hadir mewarnai kehidupan. Kondisi seperti itu akan sangat membantu terwujudnya iklim yang kondusif yang memungkinkan interaksi antarmanusia bisa dikembangkan dengan lebih baik. 

Realitas dunia yang acap diramaikan oleh konflik, kriminalitas, kemiskinan literasi, dendam politik, bukan saja merindukan ungkapan bijaksana, atau diksi dan kosakata yang penuh simpati dan empati, tetapi juga membutuhkan orang-orang bijaksana, memerlukan the wise man. 

Orang-orang bijaksana itu biasanya memiliki referensi tekstual yang amat luas dan komprehensif baik dari perspektif agama maupun lokal wisdom, tradisi budaya, dan kekayaan kultural spiritual lainnya.

Selalu saja muncul pertanyaan tentang siapa yang layak disebut "orang bijaksana": apa ukurannya, apakah pada fisiknya, atau pada pemikirannya, atau sikapnya yang merefleksikan tentang apa yang disebut bijaksana itu.

Ada pepatah yang agak menyindir sosok orang bijak: "Barbae tenus sapientes", tanda bijak hanya sampai adanya janggut! Pepatah ini ingin menegaskan bahwa kebijaksanaan itu tak boleh hanya tampak luaran, pada jenggot,rambut putih,kumis tebal.

Kebijaksanaan itu mesti terwujud tidak hanya pada yang fisik, tetapi juga pada sikap dan pemikiran. Kebijaksanaan (wisdom) sesungguhnya dianugerahkan Allah kepada manusia. Dalam Alkitab, kitab suci umat kristiani, diceritakan bahwa Salomo mohon dianugerahi oleh Tuhan kemampuan untuk menimbang perkara.

Salomo tidak meminta kekayaan atau jabatan. Allah mengabulkan permohonan Salomo. Ia mempraktikkan wisdom anugerah Allah itu dalam tugas pelayanannya dengan efektif dan sukses. 

Salomo memang piawai. Ia tidak memohon sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal fisik material: harta kekayaan, jabatan, dan sebagainya. Ia memohon sesuatu yang lebih strategis, yang berada di atas hal-hal fisik material, yaitu wisdom: hati yang paham menimbang perkara. Wisdom tidak setara dengan harta, jabatan, aset, atau apa pun. Wisdom adalah sikap yang bijak, yang mampu memberikan terobosan di tengah kebuntuan yang acap melilit dan membelenggu kehidupan.

Wisdom tidak hanya dibutuhkan dalam sebuah diplomasi internasional untuk mengatasi konflik dan bahkan perang. Wisdom dibutuhkan di parlemen, di kantor pemerintah dan swasta, di kantor RT/RW, di kantor KPU, Bawaslu, di kantor lembaga keagamaan, di sekolah, juga di rumah
untuk mengatasi anak-cucu "zaman now" yang kecanduan gadget.

Harold Macmillan, Menteri Kependudukan Inggris, saat Perang Dunia II pecah sedang berada di Aljazair. Terjadilah perselisihan antara perwira Inggris dan Amerika di ruang makan. Masalahnya sederhana. Perwira Amerika menginginkan minuman dihidangkan sebelum makan. Sementara, para perwira Inggris menginginkan sebaliknya. Konflik terjadi.

Apa yang dilakukan Macmillan? "Jika begitu, kita semua akan minum sebelum makan bagi orang Amerika. Lalu, kita akan minum setelah makan bagi orang-orang Inggris!" Perselisihan yang berkaitan dengan tata urutan makan-minum itu pun bisa selesai dengan baik.

Sebagai bangsa yang warganya beragama, kita memiliki begitu banyak wisdom, mengacu kepada ajaran agama, tradisi kultural, dan local wisdom yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Hanya, wisdom itu belum optimal didayagunakan dalam kehidupan kita secara praktis.
Apa yang diungkap Epictetus tentang orang bijaksana cukup menarik.

Orang bijak dalam pikiran Epictetus adalah orang yang memberi ruang bagi pengembangan sikap ugahari, yang tidak ngoyo mengejar harta, apalagi dengan cara menipu atau melawan hukum. Orang bijak bersyukur dengan apa yang sudah ia miliki, tidak komplain atau meratap. 

Dalam dunia yang kita hidupi sekarang ini, sikap bijak harus makin kita kedepankan. Sebuah dunia yang ramah, aman, sejuk, adil, damai, dan berkeadaban akan bisa mewujud di dunia nyata, andai ungkapan kata, diksi, terminologi, sikap, pemikiran dan perbuatan kita dikuasai oleh wisdom.

Dalam bermedsos acapkali kita membaca kata-kata hujatan, penghakiman, bahkan makian yang berada diluar batas kepatutan. Ironisnya ungkapan kebencian itu tidak berdasar alat bukti yang valid, kecuali kemiskinan literasi dan vokabulari dari sang pengujar!

Istilah vulgar yang ditujukan kepada pihak lain baik pribadi maupun institusi yang dituduh bersalah, sesat, berdosa dan lain sebagainya amat kita sayangkan terjadi dalam kehidupan kita, dalam sebuah negeri yang penduduknya 99,9 persen beragama. Kita harus kembali belajar menjadi orang yang bijak, yang dipenuhi Hikmat ilahi, agar dunia yang berkeadaban mewujud di tengah sejarah kita.

Selamat Berjuang. God bless!

Weinata Sairin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun