Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kerakusan Itu Bisa Menyengsarakan

29 November 2020   11:23 Diperbarui: 29 November 2020   11:31 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/Sharon McCutcheon


"Gula plures interemit quam gladius. Kerakusan itu (dapat) membinasakan lebih banyak hal dibandingkan dengan pedang"

Kata "rakus" sudah sejak lama kita kenal dengan akrab. Pada masa lalu, kita lebih banyak menggunakan kata itu untuk binatang. Misalnya, "Tikus itu amat rakus. Semua yang ada di lumbung padi  dimakannya." Bukan hanya padi dengan bulir yang bernas. Makanan lain yang disimpan di situ pun habis dimakan oleh tikus-tikus itu.

Perkembangan selanjutnya, penggunaan kata "rakus" mengalami peningkatan. Kata itu dikenakan juga kepada manusia. Seseorang yang melahap makanan apa saja dalam jumlah banyak disebut "rakus". Ketika korupsi merajalela, seseorang yang sudah cukup kaya, berpenghasilan besar, tetapi tetap memiliki hasrat korupsi yang meluap-luap juga disebut "rakus".

Menurut buku Logat Ketjil Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta (Groningen -- Djakarta: J.B. Wolters, 1951), kata "rakus" diartikan dengan 'suka makan apa djua'. Pada zaman itu, kata "rakus" lebih dimaknai dalam konteks makanan, terutama dihubungkan dengan sikap seseorang yang "suka makan apa saja". Seorang yang rakus dalam kaitan ini tidak mempertimbangkan apa jenis makanannya, kuliner dari daerah mana, atau menu spesial apa. Ia melahap makanan apa saja dalam ukuran yang amat bebas.

Dalam KBBI, kata "rakus" diberikan beberapa makna, yaitu: 'suka makan banyak dengan tidak memilih'; 'lahap'; 'gelojoh'. Arti yang lain: 'ingin memperoleh lebih banyak dari yang diperlukan'; 'loba'; 'tamak'; 'serakah'.

Dari beberapa definisi yang disebutkan di atas menjadi amat jelas bahwa seseorang yang rakus adalah seseorang yang tidak merasa puas dengan apa yang sudah ia miliki, sebab itu ia tergoda terus untuk menambah apa yang sudah ada tanpa batas, dengan cara yang acap kali melawan hukum serta menafikan ajaran agama.

Sifat rakus memang punya dampak yang negatif dalam kehidupan di mana pun dan pada level apa pun. Orang rakus selalu merasa tidak cukup
dan tidak puas dengan apa yang sudah dimiliki. Bisa saja terjadi, dalam sebuah komunitas, orang yang rakus itu mengambil jatah orang lain sehingga ia berlebihan sementara orang lain tidak mendapat apa pun.

Orang yang berpikir tentang hidup "sederhana" atau "ugahari" tidak pernah berpikir tentang rakus, loba, atau tamak. Orang seperti itu sudah bahagia dan bersyukur dengan apa yang ia miliki, apalagi diperoleh dengan cara yang halal dan tidak menyalahi ketentuan perundangan.

Pola pikir konsumtif dan tidak bersyukur terhadap apa yang telah Tuhan anugerahkan sering kali membawa orang pada sikap rakus, loba, tamak, dan meningkatnya nafsu berkorupsi, bahkan mendorong lahirnya perilaku kriminal.

Menarik sekali bahwa pepatah yang dikutip di awal bagian ini mem-buat semacam analogi antara "kerakusan" dan "pedang". Bagaimana mungkin dua hal itu bisa dibuat sejajar?

Secara tekstual, analogi itu agak sukar dipahami. Namun, pepatah ini ingin mengingatkan kita bahwa dalam kasus tertentu sifat rakus bisa lebih berdampak negatif dibanding tajamnya sebilah pedang. Kerakusan adalah  bagian dari kedirian manusia yang acap sukar dikendalikan. Berbeda dengan pedang. Setajam apa pun ayunan sebilah pedang bisa dihentikan oleh sikap eling dan kecerdasan manusia.

Kita semua, umat beragama yang saleh dan memiliki energi devosi yang kuat kepada Tuhan, adalah umat yang paham akan makna ugahari, makna pengendalian diri. Saudara-saudara kita yang  menjalankan ibadah puasa misalnya mempraktikkan ugahari dan pengendalian diri itu secara nyata.
Kita amat respek terhadap hal itu. Mari terus kembangkan sikap ugahari dan jauhkan sifat rakus dari kehidupan kita.

Para koruptor kelas kakap itu bisa dikategorikan orang yang rakus karena mereka tidak pernah merasa cukup dengan apa yang sudah  mereka miliki.

Kerakusan bisa mendorong orang menjadi bandar narkoba, menjadi penyelundup, mendirikan perusahaan bodong, dan sebagainya, yang berujung pada penjara yang menyengsarakan. Tinggalkan sikap rakus, dan kembangkan sikap ugahari, sikap kesahajaan.

Selamat Berjuang. God bless!

Weisa, 29 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun