Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Serahkah Itu Tak Mau Kalah

22 November 2020   18:40 Diperbarui: 22 November 2020   18:53 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
via joboneforhumanity.org

Semper avarus eget. Orang yang serakah selalu menuntut.”

Serakah selalu memiliki konotasi negatif. Orang yang serakah hampir selalu tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dimilikinya. Ia meminta lebih dari yang lain. Bahkan, orang lain harus rela tidak mendapat apa-apa demi kepuasan dirinya. 

Salah satu nasihat yang diberikan oleh orangtua kepada kita anak-anaknya adalah ”jangan serakah”, ”harus bersedia berbagi dengan orang lain”. 

Pada saat itu, orangtua memberikan contoh yang amat jelas dan praktis bagaimana mempraktikkan hidup yang tidak serakah. ”Ini ada 5 buah mangga, ayo bagi secara merata dengan kawanmu itu. Kamu beri kawanmu 2 buah, kamu ambil 2 buah dan sisanya 1 buah itu untuk kawan lain jika nanti ia datang. Jika sekarang kamu ambil 3 buah dan kawanmu kamu berikan 2 buah, itu berarti kamu serakah!”

Nasihat yang diberikan oleh orangtua kita pada waktu kita kecil tentang ”serakah” masih tetap terngiang-ngiang, bahkan terbawa saat kita dewasa dan menjadi orangtua. Serakah, rakus, loba, tamak adalah sifat-sifat orang yang cinta kepada hal-hal duniawi yang mewujud dalam bentuk harta benda yang berlebihan. Orang serakah selalu mengingini harta benda itu tanpa memedulikan lagi aturan-aturan yang ada, bahkan yang juga bertentangan dengan hukum agama.

Dalam kehidupan praktis sekarang ini, sifat-sifat tamak, serakah, loba, dan rakus sangat jelas hadir di depan kita. Ada banyak orang yang gelisah karena merasa bahwa apa yang ia miliki tidak seberapa nilainya. Padahal, kawan-kawan lain yang sebaya dan sekampung dengan dia malah sudah amat maju, kendaraannya ada beberapa buah, lahannya ada di beberapa tempat, hartanya tak terhitung banyaknya.

Kegelisahan seperti itu yang kemudian melahirkan nafsu korupsi. Korupsi, sogok, suap, mark up proyek, semuanya dilakukan demi memenuhi hasrat kerakusan dan ketamakan. Semua agama menentang sifat serakah, loba, rakus, dan tamak yang ditampilkan oleh manusia. 

Manusia sebagai khalifah Allah, dan dalam kapasitas sebagai imago Dei seharusnya tidak dalam posisi menjadi manusia yang serakah. Manusia harus mengembangkan hidup ugahari, hidup sederhana, cukup dengan yang ada, mensyukuri apa yang sudah Tuhan anugerahkan. Sikap iri hati, sikap ”mumpungisme”, sikap menyalahgunakan jabatan demi keuntungan pribadi dan para kroni harus ditinggalkan.

Sifat nonserakah harus menjadi gaya hidup kita sebagai umat beragama. Sifat ugahari, mencukupkan diri dengan yang ada, harus menjadi kebiasaan. Jika hal itu sudah menjadi kebiasaan maka dalam periode berikutnya akan bisa menjadi bagian integral dari kepribadian kita.

Pepatah yang dikutip di awal bagian ini mengingatkan bahwa orang serakah itu selalu menuntut. Ya, menuntut, komplain, merasa kurang,
adalah tipikal orang serakah. Mari tinggalkan sifat serakah yang mungkin masih ada dalam kedirian kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun