Mohon tunggu...
Aldi RamadhanPutra
Aldi RamadhanPutra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muda berjuang, tua mengenang

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Insan Paripurna

22 Oktober 2021   04:59 Diperbarui: 22 Oktober 2021   05:05 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Siapakah insan paripurna? "insan paripurna" adalah seseorang yang telah berhasil secara terus menerus menginternalisasi dan mengimplementasi keseluruhan nilai-nilai Islam dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Insan seperti ini tentu sangat mengenal Tuhan dan dirinya, serta memahami relasi antara diri dengan Tuhannya. 

Ia tahu persis mengapa ia diutus ke bumi, juga mengetahui 'jalan-jalan' yang harus ditempuh untuk kembali kepada Tuhannya. Meskipun bukan nabi, mereka memiliki fungsi dan kualitas kenabian. Mereka adalah orang-orang yang potensi dan nilai-nilai kemanusiaannya telah berkembang secara menyeluruh, seimbang dan harmonis. mereka bukan jenis makhluk yang selalu bersepi-sepian di rumah ibadah. Mereka 'turun ke bumi', hidup di tengah masyarakat. 

Dengan kapasitas keilmuan dan keahlian masing-masing, mereka menyibukkan diri untuk membenah kehidupan dunia. Mereka memiliki keseimbangan antara sisi ukhrawi dan duniawi, pribadi dan sosial, 'ubudiyah dan rububiyah, vertikal ( hablumminallah) dan horizontal (hablumminannas). Mereka ini sangat rasional dan spiritualis. 

Secara sosial mereka sangat aktif, inovatif, dan cenderung pada pengabdian. Karena keseimbangan antar dimensi inilah yang menjadikan mereka layak mendapat amanah sebagai khalifah fil ardh (wakil Tuhan), yang misinya memakmurkan bumi. Mereka bukan tipe manusia yang cepat puas, atau merasa segala pencapaian telah maksimal. Mereka tidak pernah berhenti berproses.

Disamping terus menerus berjuang memperbaiki kualitas ilmu dan keimanan; mereka terus-menerus berjihad, melakukan amar makruf nahi munkar, menginisiasi dan memimpin perubahan. Mereka punya keahlian untuk mendengarkan dan kemampuan untuk menjelaskan. Mereka juga punya sikap bertanggungjawab atas apa yang dilakukan, sehingga semuanya dikerjakan secara sempurna dan sungguh-sungguh. 

"Insan paripurna" disebut sebagai orang-orang yang "sudah selesai dengan dirinya". Mereka tidak lagi menghabiskan waktu untuk "saya", melainkan untuk "orang-orang saya". Inilah yang dinamakan the true leaders. Muhammad Saw pasti akan hidup nyaman, jika ia berfokus pada barang dagangannya sehingga tetap kaya dengan itu. 

Tetapi ia bersedia menerima tugas kerasulan, yang justru membuat ia kehabisan semua hartanya dan harta istrinya. Hari-hari yang sebenarnya dapat ia habiskan seluruhnya dengan bersenang-senang sambil memeluk Khadijah yang cantik itu, kini harus ia tempuh dengan perjalanan yang penuh cacian dan makian. 

Menempuh jalan kenabian justru membuat kaumnya, bahkan sebagian anggota keluarganya, menjadi musuhnya. Ia dapat saja hidup damai dengan menolak perintah Tuhan. Dengan mengikuti "nafsu rendahan" sebenarnya sudah cukup bagi Muhammad untuk menjadi bahagia. Dengan hidup "biasa saja" sesungguhnya dapat memberi ruang santai baginya. Tetapi, ia justru menyulitkan diri dengan memilih bekerja untuk merubah keimanan bangsanya. 

Ia memilih hidup tertekan melalui jalan perubahan sosial, dengan menghadapi kekuatan politik dan sosial di kampungnya. Sungguh, dalam kaca mata orang awam, ia makhluk "terbodoh" yang pernah ada. Menyibukkan diri untuk orang lain, mencari lelah untuk sesuatu yang ia tidak pernah dibayar dengan dolar, dinar, maupun rupiah, bahkan harus berdarah-darah; adalah ciri-ciri kehidupan "orang gila". "Kebodohan" dan "kegilaan" serupa dapat ditemukan pada sosok seperti Sidharta Gautama. 

Mengapa ia mencari lelah dengan hengkang dari istana yang penuh kemewahan, istri nan cantik jelita, makanan enak, dan harta berlimpah; dengan menempuh jadi pertapa dan hidup bersama kesengsaraan rakyatnya? Mengapa Cut Nyak Dhien, Diponegoro, Imam Bonjol, Bung Hatta, Agus Salim, dan pahlawan-pahlawan kita itu mau merepotkan diri dipenjara, diasingkan, terlunta-lunta, bahkan merelakan nyawa dengan menentang kekuatan bersenjata? 

Padahal mereka dapat saja berkolaborasi dengan menjadi tenaga-tenaga yang fasilitasi dan digaji tinggi oleh Belanda. Mengapa mereka memilih hidup "melarat" daripada hidup "nikmat"? Karena mereka bukanlah seperti sangkaan kita. Mereka bukan lagi seekor "anjing" yang setiap hari kelaparan setumpuk "bangkai". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun