Ada baiknya sejenak memperhatikan betapa pentingnya publik memahami dinamika toleransi dan politik radikal di Indonesia yang belakangan ini marak menjadi perhatian media massa Indonesia. Sampai saat ini, dinamika politik menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017 yang menjadi magnet perhatian bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Demokratisasi, transisi demokrasi, konsolidasi demokrasi di Indonesia secara teori memasuki periode yang sesungguhnya semakin mantap dan melakoni era mula penghayatan budaya demokrasi yang sebenarnya. Pasca 19 tahun dengan berbagai perdebatan, konflik, persaingan konsep, serta pelaksanaan demokrasi yang ditandai dengan proses pemilihan pemimpin baik pada level nasional maupun daerah, mayoritas rakyat Indonesia telah terbiasa dengan demokrasi prosedural.Â
Namun hal itu bukan tanpa cacat bersama ragam masalah yang menggerogoti dan menghantui perjalanan demokrasi di Indonesia. Sejumlah persoalan yang bersumber dari perilaku korup di kalangan politisi tercatat sejak dari politik uang untuk memenangkan pemilu, maraknya praktek korupsi sebagai modal politik, dan maraknya kasus gratifikasi di sektor hukum. Â Selain itu, persoalan yang bersumber dari penghalalan segala cara untuk memenangkan pemilu, ketidaksiapan untuk menerima kekalahan, serta tidak sehatnya dinamika internal partai politik yang terpecah belah oleh kepentingan elit politik menjadi wajah perpolitikan nasional Indonesia.Â
Salah satu karakter dari sistem politik demokrasi adalah toleransi yang berasal dari bahasa latin tolerantia yang berarti kemampuan untuk menanggung suatu keadaan tertentu. Arti toleransi secara individu yang diartikan bebas dari prasangka, bebas dari sikap memaksakan keyakinan pribadi, serta sikap menerima perbedaan pandangan telah berkembang di tahun 1760-an. Kemudian tahun 1860-an, arti toleransi berkembang dalam pemaknaan penerimaan keanekaragaman. Meskipun makna toleransi juga berkembang di dunia kedokteran dalam arti kemampuan tubuh manusia menerima atau menanggung suatu keadaan sebagai akibat dari pengobatan misalnya toleransi terhadap antibiotik, namun tulisan ini memaknai toleransi dalam pendekatan ilmu sosial.
Setelah memahami makna toleransi tersebut, tentu kita dapat memeriksa ke dalam setiap individu diri dan juga ke dalam organisasi dimana kita bernaung, apakah makna dasar toleransi yakni kemampuan untuk menerima perbedaan, bebas prasangka SARA, dan sikap tidak memaksakan keyakinan kepada pihak, cukup kuat dalam diri kita? Â Betapapun klaim yang dibuat orang-orang liberal humanis bahwa mereka adalah penganut toleransi sejati, hati kecil manusia siapa yang tahu? Setiap kita lahir dengan potensi-potensi baik dan buruk, menerima dan tidak menerima, penuh prasangka karena perbedaan.Â
Kemampuan untuk menahan diri, dan menyikapi dinamika hubungan sosial adalah lebih penting daripada propaganda memaksakan toleransi sebagai prinsip hidup karena akhirnya konsep toleransi itu justru intoleran kepada realita konflik yang lahir dari perbedaan.Â
Kemampuan setiap individu dalam menerima perbedaan hingga akhir zaman akan terus tercipta suatu kondisi konfliktual jika perdebatannya semata-mata hanya soal penerimaan perbedaan. Apa yang harus dikembangkan kepada semua pihak adalah agar menahan diri dari perbuatan dan tindakan yang dapat menciptakan kondisi konflik yang semakin tajam. Kondisi konflik tersebut dalam titik yang paling ekstrim adalah perang dan saling membunuh.
Bangsa Indonesia dan the founding father Republik Indonesia sadar betul bahwa Indonesia sebagai bangsa disatukan oleh kesamaan cita-cita. Slogan Bhinneka Tunggal Ika digunakan sebagai pemersatu dan pengakuan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa yang bersatu dalam ikatan cita-cita untuk menjadi bangsa yang maju sejahtera adil merata. Cita-cita boleh setinggi langit, namun jangan abai dengan realita konflik yang bersifat potensial dari perbedaan itu sehingga sangatlah penting bagi bangsa dan rakyat Indonesia untuk menyadari kerawanan dari sikap arogan atau prasangka negatif dalam diri kita dalam memperlakukan sesama anak bangsa.
Berangkat dari anjuran untuk meningkatkan kemampuan menahan diri, sekarang mari kita lihat bagaimana dinamika politik yang dilabelkan radikal oleh sebagian pihak dan propagada toleransi di lain pihak yang mengklaim diri sebagai pihak yang benar. Perumpamaan paling  gampang sebagai studi kasus adalah dinamika politik menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017.Â
Marilah publik membaca secara hati-hati, kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai salah satu kandidat Gubernur DKI menciptakan polarisasi sikap masyarakat secara umum menjadi dua yakni mereka yang menganggap telah terjadi penistaan agama dan mereka yang menilai tidak terjadi penistaan agama. Lantas, secara politik terjadi dua kutub yakni Pro Ahok atau Ahokers (para pendukung Ahok) dan Anti Ahok (para penentang Ahok). Semua bercampur baur dalam dinamika propaganda-propaganda politik yang bersumber dari perbedaan yang diguyur oleh penyubur intoleransi yakni arogansi Ahok, ketersinggungan umat Islam (terkait dengan kemampuan menahan diri), dan intrik politik baik dari kelompok Pro Ahok maupun Anti Ahok.Â
Betapapun cerdas cerdiknya susunan propaganda-propaganda politik untuk mendukung salah satu calon gubernur, kita perlu memperhatikan dampak pada masyarakat yang dapat semakin emosional jika terlalu lama sering digosok. Barangkali kita berusaha mempengaruhi pandangan publik tentang dinamika toleransi yang belakangan digambarkan memprihatinkan, namun sejatinya apa yang terjadi hanya berada di pusaran politik Pilkada DKI Jakarta 2017 yang dikelola oleh mereka yang berkepentingan langsung. Sementara masyarakat penduduk DKI Jakarta secara umum adalah penonton yang sedang dipengaruhi dan penentu hasil Pilkada yang sedang menyerap berbagai informasi yang berkembang.