Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ibarat 'Jalan Negara', Dana Ketahanan Energi ?

30 Desember 2015   18:09 Diperbarui: 31 Desember 2015   00:13 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="TNI bersama warga sekitar menguras banjir, situasi pukul 10.00 WIB"][/caption]Foto diatas, adalah jalur By Pass-Kedawung, Cirebon. Jika hujan, jalan ini, setiap tahunnya gratis tiket banjir. Jalan tersebut merupakan 'jalan negara', dari arah Jawa menuju Jakarta. Siapa yang bertanggung jawab dalam tata kelolanya? Hingga tulisan ini diturunkan, belum ada yang menjamin 'jalan negara' itu aman dari genangan air. Alhasil, selamat datang kemacetan di tahun baru 2016. Dalam benak saya, 'jalan negara' yang tergenang itu hanya sepanjang 100-200 meter. Namun, menjadi panjang kemacetannya karena para elit kekuasaan 'sibuk' dengan hiruk pikuk dana ketahanan energi. Bukan kebetulan, lokasi 'jalan negara' itu tepat di depan SPBU By Pass-Kedawung. Pom bensin adalah lambang 'ketahanan energi' publik.

Ya Sudahlah!

Sesungguhnya tulisan ini bersamaan dengan penulisan artikel Tentang Pemberitaan Rizal Ramli, dan bersama pak Rudi, saya membaca halaman depan Radar Cirebon, edisi 29 Desember 2015 berjudul Awas Mainan Mafia Migas, dalam berita tersebut dituliskan bahwa rencana pemungutan dana ketahanan energi (DKE) dari pembelian bahan bakar minyak (BBM) bensin premium dan solar terus menerus menuai sorotan. Bahkan, pemungutan DKE itu dikhawatirkan menjadi peluang permainan mafia migas. Bahkan, salah satu narasumber dalam laporan tersebut adalah Fahmi Radhi, Kompasianer dan saya mengikutinya. Ia mengungkapkan dalam koran tersebut, bahwa cara yang akan dilakukan Kementerian ESDM kini disebutnya riskan disusupi para pemburu rente. Apalagi, sampai saat ini belum ada aturan yang jelas soal DKE. 

Oleh sebab semalam, Kompasiana mendapatkan gangguan internal server, tulisan ini sedikit tertunda. Tentunya, saya dan publik ingin sekali bagaimana pemerintah menyikapi soal tersebut. Sontak, saya masih ingat obrolan lepas dengan salah seorang yang saya anggap 'sepuh' di lingkungan intelijen. Beliau menceritakan bahwa di era 1960 an, badan intelijen Indonesia bernama Bakin, mempunyai direktorat yang bertugas menganalisa sumber daya alam yang bertujuan untuk melindungi dan meneliti pemanfaatan sumber daya alam Indonesia untuk kepentingan rakyat. Namun, direktorat tersebut telah ditiadakan, Karena dianggap "mengganggu", kata beliau yang enggan disebutkan namanya ini. Obrolan lepas itu terjadi sembilan tahun yang lalu. 

Sesungguhnya pengawasan yang dijalankan intelijen sangatlah vital, sasaran tembak bukan hanya kepada "pemodal asing" yang condong culas, mulai dari kontrak karya hingga laporan keuangannya. Melainkan juga pengawasan terhadap perusahaan nasional semisal Pertamina yang dianggap sebagai sarang korupsi. Adanya kekuatan politik, uang dan dukungan para pelacur intelektual dengan validasi data meragukan yang secara merdeka dan sengaja diungkapkan kepada publik, sedangkan deal-deal tertutup tidak akan pernah diketahui publik.

Beberapa minggu lalu, perhatian kita terfokus oleh laporan aduan Sudirman Said, dan hebohnya Transkrip Rekaman Lengkap Kongkalikong Lobi Freeport yang melibatkan dua nama tokoh Setya Novanto dan Mohammad Reza Chalid. Untuk kedua kalinya, Sudirman Said kembali menyita perhatian publik dengan mengusulkan Dana Ketahanan Energi. Dalam laman milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, disebutkan pemerintah memutuskan untuk mulai menghimpun Dana Ketahanan Energi (DKE) melalui pemungutan premi deplesi (pengurasan) atau depletion premium energi fosil. Keputusan tersebut merupakan amanat Undang-Undang (UU) 30/2007 tentang Energi beserta aturan pelaksanaannya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. 

Sebatas amatan saya, polemik dana ketahanan energi ini, sarat dengan muatan politik. Dan, dinamika silang pendapat sejenis ini, diperkirakan sedang dikumpulkan oleh anasir-anasir politik untuk menyusun skenario. Selembut apapun permainan di antara para oportunis ujung-ujungnya adalah kekuasaan untuk mengendalikan ketahanan energi di negara ini, melalui tangan-tangan tidak kelihatan. "Sejarah mencatat jatuh bangunnya peradaban dan kekuasaan disulut oleh beban pajak dan pungutan yang tinggi," ujar Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) di CNN Indonesia.

Minggu lalu, pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar. Harga premium semula Rp 7.400 per liter turun menjadi Rp 7.150 per liter dan harga solar dari Rp 6.700 per liter turun menjadi Rp 5.950. Kompas, edisi 30 Desember 2015, Rubrik Opini bertajuk Dana Ketahanan Energi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, harga keekonomian premium saat ini sebenarnya Rp 6.950/liter, sedangkan solar Rp 5.650/liter. Namun, untuk kepentingan pengembangan energi terbarukan, pemerintah menambah Rp 200/liter pada harga premium dan Rp 300/liter pada harga solar. Dana Rp 200/liter dan Rp 300/liter yang diambil dari harga premium dan solar ini diklaim merupakan dana ketahanan energi. Gagasan tentang dana ketahanan energi seperti yang dicetuskan Menteri ESDM pada dasarnya baik. Namun, untuk mengimplementasikannya menjadi kebijakan resmi, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu harus memiliki pijakan dasar hukum yang kuat dan jelas.

Pasalnya, nalar masyarakat awam adalah pemerintah menetapkan dana ketahanan energi berawal dari  Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said mengatakan, pungutan ini merupakan implementasi Pasal 30 Undang-undang No. 30 tahun 2007. Sementara, penerapan pemerintah pungutan dana ketahanan energi dari penjualan premium dan solar dimulai 5 Januari 2016 tersebut, disaat harga minyak dunia turun. Lalu, dimana rumusan subsidi bahan bakar minyak untuk rakyat?  Di sisi lain, PT Pertamina (Persero) mengaku bahwa dana ketahanan energi tidak dipungut dari masyarakat. Dana ini merupakan keuntungan Pertamina dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) yang akan disisihkan untuk ketahanan energi nasional. "“Tolong diluruskan bahwa ini bukan pungutan, tapi memang kelebihan keuntungan. Dana ini sebagai cadangan untuk menutup kerugian Pertamina ketika harga BBM yang seharusnya naik, tetapi tidak dinaikkan,” ujar Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang kepada Katadata, Senin (28/12)

Tentunya, jika hal itu untuk menutup kerugian PT Pertamina (Persero), pemerintah wajib menjelaskan secara terbuka dan transparan. Sebab, selama ini, sejak dibentuknya Pertamina Energy Trading Limited atau dikenal dengan sebutan Petral, di Hong Kong oleh Soeharto, mantan Presiden Indonesia ke-2. Dan, ditujukan untuk transaksi jual beli migas, PT Pertamina (Persero) adalah persoalan praktik korupsi dan praktik 'mafia' migas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun