Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bahasa Mandarin di Balik Hubungan Indonesia-Tiongkok

27 Januari 2022   12:46 Diperbarui: 27 Januari 2022   16:41 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://klasika.kompas.id/

Dengan meningkatnya pengaruh global China, banyak orang di seluruh dunia semakin menyadari pentingnya memahami China dengan lebih baik. 

Di negara-negara di mana investasi Cina berkembang seperti Korea Selatan dan Afrika, minat untuk belajar bahasa Cina sedang booming. Mereka percaya menguasai bahasa akan membantu mereka memahami norma, budaya, dan kebijakan Tiongkok, yang akan membantu mereka berinteraksi dengan Tiongkok. 

Namun, ini tidak terjadi di Indonesia, di mana pijakan China telah tumbuh secara eksponensial dalam beberapa tahun terakhir. 

Gagal memahami bahasa nasional Tiongkok (Mandarin) akan menghalangi Indonesia untuk mengambil manfaat penuh dari hubungan ekonominya dengan Tiongkok, mitra dagang utama dan investor terbesar Indonesia. 

Indonesia adalah rumah bagi sekitar 7 juta orang etnis Tionghoa atau 3,3% dari total populasi. 

Meskipun ada beberapa kemajuan dalam mempromosikan bahasa Mandarin di Indonesia, negara ini belum mampu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar bahasa Mandarin --- karena sebagian besar alasan politik. 

Ini dimulai dengan rezim otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Suharto, yang memutuskan untuk membekukan hubungan dengan China pada tahun 1967, dalam upaya untuk menahan penyebaran komunisme. 

Suharto mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menutup sekolah-sekolah berbahasa Mandarin dan surat kabar berbahasa Mandarin. Dia juga mengeluarkan peraturan untuk memaksa naturalisasi keturunan Tionghoa, yang menyebabkan stigmatisasi selama beberapa dekade. Hal ini mengakibatkan menurunnya kemampuan berbahasa Tionghoa di kalangan etnis Tionghoa di Indonesia karena mereka percaya bahwa belajar bahasa tidak akan berguna.

Presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid menghapus kebijakan diskriminatif 1999. 

Setelah itu, ada dorongan awal untuk belajar bahasa China. 

Sekolah swasta memulai pelajaran bahasa China. Beberapa sekolah menawarkan kurikulum menggunakan bahasa Indonesia, Inggris dan China. Mereka disebut sekolah tiga bahasa. Beberapa menawarkan kelas kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun