Mohon tunggu...
Wayudin
Wayudin Mohon Tunggu... Guru - Pengabdian tiada henti

Seorang guru SMP swasta di kota Medan,tertarik dengan fenomena kehidupan masyarakat dan tak ragu untuk menyuarakan pendapatnya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Meracik Tayangan Ramah Anak

22 Mei 2020   09:24 Diperbarui: 22 Mei 2020   09:22 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : brilio.net

Masalah akan menjadi lebih rumit ketika kita bermaksud menanamkan nilai-nilai budi pekerti sehingga film tersebut bukan hanya sekadar dinikmati tapi juga mendidik sehingga tercipta satu generasi yang berakhlak dan berbudi pekerti luhur sebagaimana yang dicita-citakan pendidikan nasional. Dengan demikian, film anak-anak berpotensi untuk disinergikan dengan dunia pendidikan formal dan dapat menjadi salah satu media pembelajaran yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti kepada generasi penerus bangsa.

Kepolosan khas anak-anak yang ditampilkan secara wajar sehingga tidak tampak seperti dipaksakan dan diikuti dengan ide cerita yang lekat dengan dunia anak-anak, seperti permainan (tradisional), makanan kesukaan, lingkungan sekitar, dunia sekolah, serta tak lupa disisipi dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti halnya peribahasa sehingga nilai-nilai luhur tersebut dapat diwariskan turun temurun, dapat menjadi syarat utama tayangan yang tepat untuk anak-anak. 

Hal-hal seperti ini harus benar-benar diperhatikan karena tidak semua film animasi layak ditonton anak-anak. Film yang mengisahkan perseteruan antara seekor kucing dan tikus (Tom & Jerry) seringkali menampilkan adegan kekerasan yang tanpa disadari dapat mengajarkan anak-anak untuk menyakiti orang-orang di sekitarnya. Crayon Shinchan sebagai contoh lainnya juga harus turut diwaspadai karena kenakalan yang melebihi batas wajar anak seusianya dan cenderung “genit”. 

Shaun The Sheep yang tayang pada 21 Juli 2017 mendapat teguran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena menayangkan adegan ciuman bibir antara pria dan wanita. Sinetron Best Friend Forever bergenre remaja yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta juga bernasib sama (ditegur KPI) karena sarat adegan perundungan (bullying). Contoh-contoh tersebut menunjukkan tidak semua tayangan anak-anak ramah untuk disaksikan pemirsanya karena rentan terselip nilai-nilai yang menyimpang yang dapat memengaruhi kondisi psikologis anak-anak.

Serial Adit & Sopo Jarwo yang diproduksi lokal mungkin bisa sedikit melawan hegemoni animasi asing. Akan tetapi penulis menilai Adit & Sopo Jarwo terlalu ideal dalam menggambarkan kehidupan anak-anak Indonesia. Sifat polos dan kadang usil yang merupakan natur anak-anak tidak terlalu terlihat jelas. 

Ditambah dengan situasi perkampungan yang “sangat rapi dan teratur” sehingga menimbulkan tanda tanya pada penulis, apakah memang sedemikian teraturkah kondisi perkampungan di Indonesia? Kondisi yang terlalu ideal tersebut menjadikan penulis tidak memiliki perasaan “gue banget” sebagaimana ketika menonton Upin & Ipin sehingga rasanya agak sulit untuk menyatu dengan cerita yang disampaikan.

Indonesia sebenarnya memiliki “Si Unyil” yang telah lama mati suri dan dulu pernah mewarnai masa kecil sebagian masyarakat Indonesia. Zaman-zaman ketika TVRI masih menjadi satu-satunya sumber hiburan di tanah air menjadikan Si Unyil dan kawan-kawannya sangat dinantikan kehadirannya. 

Menciptakan tokoh panutan yang baru tentunya bukan perkara mudah. Pinkfong sendiri menciptakan karakter bayi hiu setelah berdiskusi selama berbulan-bulan mengenai karakter favorit anak-anak. Pilihan kemudian jatuh pada karakter hewan dan salah satunya adalah bayi hiu. Diikuti dengan warna yang menarik, syair yang sederhana dengan sedikit variasi dan irama yang berulang, lahirlah lagu Baby Shark yang fenomenal tersebut.

Daripada menciptakan tokoh panutan yang baru bagi anak Indonesia, bukankah akan lebih mudah dan murah jika membangkitkan kembali “roh” Si Unyil? Modifikasi tentu saja dibutuhkan agar tokoh yang telah berusia puluhan tahun tersebut dapat menggambarkan kehidupan sosial budaya anak Indonesia sesuai dengan kondisi saat ini. Figur Unyil yang sejatinya berupa boneka tangan dapat diubah dalam bentuk animasi sehingga akan lebih mudah dalam membuat alur cerita yang sesuai dengan imajinasi anak-anak yang tidak terbatas. 

Selain tayangan, lagu anak-anak juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi para musisi dan pegiat industri kreatif nasional. Dalam setiap ajang pencarian bakat anak-anak, sebagian besar pesertanya justru membawakan lagu pop dewasa karena terbatasnya persediaan lagu anak-anak yang bermutu. Tidak mengherankan jika ketika muncul lagu seperti Baby Shark, masyarakat merespon dengan sangat antusias.

Apabila tersedia tayangan yang ramah anak, tentunya kita akan terhindar dari dilema yang terus-menerus menghantui seperti saat ini. Acara nonton bersama keluarga pada jam tayang utama (prime time) tentunya tidak akan dihabiskan dengan sibuk gonta-ganti siaran demi mendapatkan tayangan yang sesuai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun