Mohon tunggu...
ekafolks
ekafolks Mohon Tunggu... Freelancer - amorfati

Sekali berarti sudah itu mati.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mayday 2017: Buruh dan Penguasa Sama-sama 'Serakah'

20 April 2017   22:36 Diperbarui: 21 April 2017   07:00 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: TMC Polda Metro Jaya

Menjelang hari buruh pada 1 Mei 2017 sudah mulai terlihat seruan-seruan aksi di media sosial yang menggalang massa melaksanakan aksi turun ke jalan demo menuntut hak buruh. Namun melihat hal seperti ini seolah-olah ‘manusia-manusia’ di negara ini mulai dari ekonomi bawah hingga ekonomi atas terkesan sama aja yakni sama-sama ‘serakah’. Kaum buruh ingin gaji besar dan kerja nyaman sedangkan pejabat sudah dapat gaji besar dan nyaman, masih saja ingin lebih.

Apalagi sering terlihat dalam berita rombongan buruh Jabodetabek yang berdemo menggunakan motor sport. Mungkin jika mau berdemo sebaiknya lebih pintar lagi dengan menyewa sepeda ontel atau mungkin supaya ingin terlihat susah, ya susah sekalian. Buruh di Indonesia rupanya sudah punya motor Ninja dan smartphone canggih, masih saja menuntut. Belum tentu juga kerjanya bagus di pabrik padahal fasilitas dan lain-lain sudah diberikan perusahaan seperti makan, transport, lemburan, pinjaman, dll.

Kalau memang ingin  gaji yang besar sebaiknya jadi pengusaha saja atau mungkin giliran pengusaha yang demo buruh karena kerja tidak becus tapi menuntut macam-macam. Memangnya buruh saja yang butuh biaya, pengusaha juga ingin perusahaannya tetap jalan dan mendapat pemasukan. Bagi perusahaan untuk men-PHK buruh yang tidak berkualitas mudah, apalagi mencari penggantinya toh masih banyak pengangguran diluar sana yang membutuhkan pekerjaan.

Kemudian kalau misalnya buruh yang banyak maunya tadi di-PHK, mereka akan demo dan yang disalahkan pengusaha dan pemerintahnya. Disebut tidak becus mengurus rakyat, padahal sendirinya yang membuat ulah. Sama seperti banjir, yang buang sampah sembarangan siapa tetapi saat banjir yang disalahkan pemerintah.

Jadi berpikir bagaimana sarjana, honorer, dokter, bidan, guru dan profesi lainnya yang masih rela digaji dibawah 2 juta. Bicara soal kebutuhan, semua orang punya kebutuhan, tapi tidak semua orang bisa bersyukur. Sangat yakin jika semua orang kerjanya ikhlas dan pintar bersyukur, Indonesia pasti akan jauh lebih baik.

Perihal buruh-buruh yang punya motor dan smartphone canggih, saya yakin mereka punya itu bukan karena kebutuhan tetapi untuk gaya-gayaan. Nah, hal tersebut kan karena gaya hidup yang salah dan gengsi yang tinggi. Lagi pula motor dan smartphone tersebut saya yakin kreditan dan karena susah bayar kredit akhirnya demo menuntut kenaikan gaji. Biasanya, orang-orang seperti itu jadi provokatornya.

Memang tidak salah jika Anda berdemo, itu sebagai salah satu fasilitas Anda untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat. Tapi, pasti ada jalan yang lebih solutif.

Apakah tidak ada jalan yang lebih baik selain harus berdemo. Bukannya jika Anda ada masalah, bisa dibicarakan ke HRD? Atau memang masalahnya bukan pada gaji, tetapi pada gaya hidup Anda? Coba dibicarakan dengan baik-baik. Jangan sampai keresahan Anda yang dilampiaskan dalam demo malah merugikan diri Anda sendiri. Saya juga yakin, sebagian besar dari kaum buruh tidak mau ikut berdemo, tetapi dipaksa oleh sebagian orang yang punya ambisi atau kepentingan tertentu yang susah membayar kredit motor Ninja atau CBRnya.

 Toh Hari Buruh dijadikan tanggal merah (Libur Nasional) untuk liburan, kumpul dengan keluarga dan istirahat. Lah ini malah demo turun ke jalan yang membuang waktu, tenaga dan biaya untuk bensin kendaraan. Bukannya selama ini waktu Anda sudah dihabiskan untuk bekerja di pabrik dan Anda sering menuntut pengurangan jam kerja supaya tidak disamakan seperti robot yang biasa bekerja 24 jam.

Jika standar upah dinaikan oleh pemerintah otomatis banyak konsekuensi yang harus diambil oleh pengusaha, salah satunya mengurangi jumlah pegawai, pindah lokasi usaha (yang biaya pekerjanya lebih murah) atau mengganti sistem padat karya dengan mesin.

Efeknya, tentu akan pada buruh sendiri. Buruh-buruh akan banyak yang di-PHK, mereka akan susah lagi mencari kerja dan kemudian ketika dapat kerja ternyata gajinya lebih rendah dari pekerjaan sebelumnya sedangkan Anda butuh biaya dan dengan terpaksa Anda mau tidak mau harus mengambilnya. Siapa yang nanti akan menyesal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun