Mohon tunggu...
M Aan Setiawan
M Aan Setiawan Mohon Tunggu... Sales - Pengagum Hujan dan Kesunyian.

Pernah memakan bangku sekolah akan tetapi tidak habis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keberagaman Kita, Khazanah Kita

2 September 2020   23:55 Diperbarui: 2 September 2020   23:51 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah negara yang mempunyai beragam kekayaan. Antara lain, etnis, budaya, agama dan bahasa. Namun, kekayaan ini sangat rentan menyulut api perpecahan dan Konflik. Konflik vertikal maupun konflik horisontal. Hal yang selalu menjadi ancaman bagi kita setiap saat.

Jumlah penduduk di Indonesia tahun 2020 diperkirakan mencapai 271.066.000 juta jiwa (BPS), 714 suku, 1.340 suku bangsa, 6 agama dan 718 bahasa (Kemendikbud). 

Hal ini menjadi kekayaan yang tidak ternilai dan tidak ada bandingannya dengan negara lain. Ditambah dengan aset tidak terlihat dari bangsa Indonesia, yaitu persatuan dan kesatuan, yang mana dengan modal itu kita bisa merdeka.

Keberagaman menurut Kemendikbud, adalah suatu kondisi dalam masyarakat yang terdapat begitu banyak perbedaan dari berbagai bidang. Keberagaman yang ada di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa macam faktor, baik dari dalam maupun dari luar masyarakat. 

Faktor keberagaman di Indonesia antara lain, lingkungan fisik daerah, keyakinan atau agama, kehidupan sosial budaya dan faktor sejarah. Dalam menjaga kerukunan antar masyarakat Indonesia, pada 2008 pemerintah membuat UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Pluralitas dan heterogenitas yang ada di masyarakat tercermin dalam prinsip persatuan dan kesatuan yang terkandung dalam "Bhineka Tunggal Ika". Hefner (Mahfud, 2009: 83) mengatakan bahwasanya Indonesia adalah negara yang locus classic (tempat terbaik atau rujukan) bagi konsep masyarakat yang majemuk.

Sejalan dengan itu, Wingarta (2012:28) memaparkan bahwa munculnya konflik horisontal yang diwarnai SARA sebagaimana terjadi di Ambon, Poso, Sampit merupakan cermin dari bopeng-bopengnya pemaknaan dari Sasanti Bhineka Tunggal Ika. 

Para pendiri bangsa (founding fathers) saat itu sadar betul, bahwa kemerdekaan negara ini dibangun di atas beragamnya suku bangsa, agama, adat-istiadat, sosial budaya, bahasa serta kebiasaan yang sangat multikultur.

Akhir-akhir ini, keberagaman itu mulai terusik kembali dengan keberadaan politik SARA dan ideologi Islam transnasional yang digaungkan sebagian orang atau kelompok atas nama agama. 

Namun, sebagai bangsa yang rukun dan bersatu, masalah seperti ini harusnya mampu diminimalisir dengan waktu yang relatif singkat. Akan tetapi, pandangan itu luntur seketika dan susah diterapkan, ketika ideologi Islam transnasional sudah meracuni sebagian bangsa ini.

Untuk meminimalisir konflik yang dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Maka, seluruh warga negara Indonesia diminta untuk menjunjung tinggi rasa persaudaraan dan kekerabatan, sehingga terciptanya perdamaian. Dalam hal ini, kita juga harus memiliki rasa toleransi yang tinggi sebagai warga negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun