Mohon tunggu...
wawan s
wawan s Mohon Tunggu... Buruh - Belajar menulis

Belajar menulis. Menulis sambil belajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Oksimoron dalam Berselfie

13 November 2021   18:39 Diperbarui: 13 November 2021   18:40 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oksimoron (oxymoron) berasal dari kata Yunani: oxus yang berarti tajam dan moros yang berarti tumpul. Pertama kali digunakan pada abad ke 4.

Merupakan majas yang meletakkan dua antonim (lawan kata) dalam hubungan sintaksis (susunan kalimat). Kata ini digunakan untuk menggambarkan istilah yang kontradiktif. Misalnya kata "pretty ugly," "doing nothing," "agreed to disagree," "cleary confused" dan lainnya.

Kini kata oksimoron juga diterapkan pada kegiatan selfie. Selfie adalah kegiatan mengambil foto diri sendiri yang dilakukan oleh diri sendiri. Padanan katanya adalah swa-foto.

Orang yang berfoto adalah orang yang bergembira. Coba, ketika Anda bersedih, mata merah berair, sesenggukan, atau bahkan menangis meraung-raung, apakah Anda bersedia difoto? Tentu normalnya tidak bersedia. 

Jika Anda mengabadikan orang yang menangis, terutama karena hal yang penyebabnya terjadi secara mendadak, maka Anda akan dituduh tak beretika, tak berempati, bahkan tak memliki hati nurani untuk sesama.

Juga apakah mungkin orang yang tengah bersedih hati, memiliki keinginan untuk berselfie? Rasanya hanya orang tak waras yang melakukannya.

Namun, saat ini kerap terjadi hal seperti ini. Ada kebakaran, orang berselfi dihadapannya. Bukan mengabadikan kebakarannya, namun memasukkan diri dalam frame foto, bahkan tersenyum puas, kemudian klik. Selesai. Selanjutnya disebar dengan penuh kebanggaan.

Ada orang ternama, selebriti, publik figur, tokoh nasional, terlibat kecelakaan lalu lintas. Orang-orang mencuri kesempatan untuk berselfi dihadapan, bangkai kendaraan yang ringsek. Kemudian menyebar luaskannya dengan tanpa empati pada korban. Berharap konten tersebut populer. Bahkan kalau bisa dimonetisasi.

Dewasa ini kita mulai melacurkan hati nurani demi popularitas konten. Hal ini memiliki martabat yang lebih rendah dibanding orang mencuri untuk makan. Dan sayangnya hal semacam ini sepertinya tak bisa disembuhkan hanya lewat nasehat lisan saja

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun